029.
Sekolah sudah sepi, hanya menyisakan satpam juga guru-guru yang sedang bersiap meninggalkan sekolah, dan segelintir kecil murid yang entah ada urusan apa.
Adelio menjadi satu dari tidak terlalu banyak orang di sana, dengan botol minum berwarna biru di tangan kanannya yang menjadi alasan utama kenapa dia kembali ke sekolah meski sudah sore begini. Setelah kurang lebih 15 menit mencari Adelio berhasil menemukan botol minum itu. Barang yang dicarinya rupanya ada di hall basket—sepertinya tertinggal di sana saat ia bermain dengan temannya siang tadi sebelum pulang.
Ketika berjalan menyusuri plaza, dari kejauhan ia melihat sesosok gadis yang tidak asing baginya berdiri di depan pintu utama sekolah. Gadis itu sudah tidak lagi menggunakan seragam sekolah dan rambut panjangnya diikat satu. Karena rasa penasarannya yang tinggi, Adelio pun menghampiri gadis itu.
“Kok belum pulang?”
Yang diajak bicara sedikit terkejut dengan kehadiran Adelio yang terkesan tiba-tiba. Ia melirik ke kanan kiri gelagapan berharap bisa sedikit mengurangi rasa canggung di antara mereka.
“Tadi ada urusan bentar.”
Adelio hanya mengangguk-angguk sebelum melanjutkan pertanyannya, “Gamau gua anter aja?”
Shabrina membelalak. Kenapa akhir-akhir ini dia jadi sering terlibat dengan Adelio? Kenapa pula laki-laki ini jadi sering menganggu hidupnya belakangan ini?
Sebenarnya yang Shabrina tidak sadar, sejak lama Adelio selalu berusaha mengajaknya bicara, tapi Shabrina selalu mengabaikannya. Dan entah bagaimana baru sekarang Shabrina sadar akan hal ini.
“Gausah, gue udah pesen gocar,” jawabnya seadanya.
Tak sampai lima menit, ponsel Shabrina berdiring.
“Lah, Pak kok tiba-tiba? Yaudah, deh. Iya...”
Adelio tersenyum miring dan terkekeh pelan. Kalau dari hasil ngupingnya barusan, sepertinya sih dia paham apa yang baru saja terjadi. “Kenapa? di cancel ya?” tanyanya.
Shabrina hanya diam tidak menjawab. Gengsi. Sebetulnya tidak perlu, tapi dia malu saja untuk mengakuinya. Apalagi dia baru saja menolak mentah-mentah tawaran Adelio.
Lagi-lagi Adelio terkekeh. Dengan wajah dan nada bicara yang menggoda Adelio berkata, “Dibilang bareng gua aja. Ngeyel, sih.”
Shabrina masih saja diam, tak mengeluarkan satu patah kata pun.
Pemuda itu menarik napas panjang dan membuangnya kasar. “Tawaran terakhir, nih. Mau bareng gua gak? Semenit gak jawab gua tinggal. Abis ini gua juga ada janji soalnya.”
Setelah menghabiskan waktu untuk sedikit berpikir, Shabrina akhirnya meng-iyakan ajakan Adelio. Mungkin tawaran itu tidak terlalu buruk, pikirnya. Lagipula melihat bagaimana gelapnya langit saat ini, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Memesan taksi online akan semakin sulit di saat seperti itu.
“Yaudah, boleh deh…” jawab Shabrina pelan.
Beberapa saat setelahnya Shabrina sudah berjalan mengikuti Adelio menuju mobilnya yang berada di parkiran. Dan tak lama setelahnya mereka berdua sudah berada di mobil hitam milik Adelio yang kini tengah melaju.
Atmosfer di antara keduanya canggung. Tidak ada yang memulai obrolan. Hanya ada Shabrina yang melihat ke luar jendela dengan dagu yang ditopang oleh tangan kirinya sambil mengangguk-angguk pelan mengikuti alunan musik dari radio, dan adelio yang fokus mengemudi sambil sesekali melirik ke kiri dan memperhatikan Shabrina.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berdua berada di mobil yang sama—hanya mereka berdua. Terakhir kali adalah dua tahun lalu saat mereka masih kelas 9 dan Adelio baru bisa menyetir mobil lalu ia tiba-tiba saja muncul di depan rumah Shabrina dan mengajaknya pergi.
Masih dengan mata yang terus memperhatikan Shabrina, Adelio akhirnya membuka percakapan. “Gausah malu-malu kali. Kalo mau nyanyi mah nyanyi aja,” ledeknya.
Shabrina buru-buru membuang mukanya malu. Telinganya memerah. Ia selalu malu ketika kebiasaannya untuk bersenandung mengikuti lagu diketahui orang lain. Bersenandung itu hal yang normal. Jelas. Tidak perlu untuk ditutup-tutupi, tapi Shabrina itu bisa dibilang orang yang sangat peduli dengan penilaian orang lain akan dirinya, makanya dia selalu malu dengan hal ini. Ia tidak percaya diri dengan suaranya, itulah mengapa dia selalu melakukannya diam-diam. Akan tetapi, dulu, ketika bersama Adelio dia tidak pernah malu akan hal ini, meski dia sadar betul kalau Adelio memiliki suara yang merdu, Shabrina tetap nyaman di dekatnya.
Kejadian barusan benar-benar membuat Adelio sadar, hubungannya dan Shabrina sudah jelas sangat berbeda jika dibandingkan dulu. Banyak sekali PR-nya jika dia ingin kembali seperti dulu.
“Udah, sampai,” ujar Shabrina ketika mereka berdua sudah tiba di rumah dengan arsitektur mewah yang didominasi warna putih. “Makasih, yo,” lanjutnya sambil keluar dari mobil.
“Gua jalan, ya,” ucap Adelio melalui jendela yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Shabrina yang kemudian menghilang dibalik pintu besar rumahnya.