sunnysiidez

Sekolah sudah sepi, hanya menyisakan satpam juga guru-guru yang sedang bersiap meninggalkan sekolah, dan segelintir kecil murid yang entah ada urusan apa.

Adelio menjadi satu dari tidak terlalu banyak orang di sana, dengan botol minum berwarna biru di tangan kanannya yang menjadi alasan utama kenapa dia kembali ke sekolah meski sudah sore begini. Setelah kurang lebih 15 menit mencari Adelio berhasil menemukan botol minum itu. Barang yang dicarinya rupanya ada di hall basket—sepertinya tertinggal di sana saat ia bermain dengan temannya siang tadi sebelum pulang.

Ketika berjalan menyusuri plaza, dari kejauhan ia melihat sesosok gadis yang tidak asing baginya berdiri di depan pintu utama sekolah. Gadis itu sudah tidak lagi menggunakan seragam sekolah dan rambut panjangnya diikat satu. Karena rasa penasarannya yang tinggi, Adelio pun menghampiri gadis itu.

“Kok belum pulang?”

Yang diajak bicara sedikit terkejut dengan kehadiran Adelio yang terkesan tiba-tiba. Ia melirik ke kanan kiri gelagapan berharap bisa sedikit mengurangi rasa canggung di antara mereka.

“Tadi ada urusan bentar.”

Adelio hanya mengangguk-angguk sebelum melanjutkan pertanyannya, “Gamau gua anter aja?”

Shabrina membelalak. Kenapa akhir-akhir ini dia jadi sering terlibat dengan Adelio? Kenapa pula laki-laki ini jadi sering menganggu hidupnya belakangan ini?

Sebenarnya yang Shabrina tidak sadar, sejak lama Adelio selalu berusaha mengajaknya bicara, tapi Shabrina selalu mengabaikannya. Dan entah bagaimana baru sekarang Shabrina sadar akan hal ini.

“Gausah, gue udah pesen gocar,” jawabnya seadanya.

Tak sampai lima menit, ponsel Shabrina berdiring.

“Lah, Pak kok tiba-tiba? Yaudah, deh. Iya...”

Adelio tersenyum miring dan terkekeh pelan. Kalau dari hasil ngupingnya barusan, sepertinya sih dia paham apa yang baru saja terjadi. “Kenapa? di cancel ya?” tanyanya.

Shabrina hanya diam tidak menjawab. Gengsi. Sebetulnya tidak perlu, tapi dia malu saja untuk mengakuinya. Apalagi dia baru saja menolak mentah-mentah tawaran Adelio.

Lagi-lagi Adelio terkekeh. Dengan wajah dan nada bicara yang menggoda Adelio berkata, “Dibilang bareng gua aja. Ngeyel, sih.”

Shabrina masih saja diam, tak mengeluarkan satu patah kata pun.

Pemuda itu menarik napas panjang dan membuangnya kasar. “Tawaran terakhir, nih. Mau bareng gua gak? Semenit gak jawab gua tinggal. Abis ini gua juga ada janji soalnya.”

Setelah menghabiskan waktu untuk sedikit berpikir, Shabrina akhirnya meng-iyakan ajakan Adelio. Mungkin tawaran itu tidak terlalu buruk, pikirnya. Lagipula melihat bagaimana gelapnya langit saat ini, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Memesan taksi online akan semakin sulit di saat seperti itu.

“Yaudah, boleh deh…” jawab Shabrina pelan.

Beberapa saat setelahnya Shabrina sudah berjalan mengikuti Adelio menuju mobilnya yang berada di parkiran. Dan tak lama setelahnya mereka berdua sudah berada di mobil hitam milik Adelio yang kini tengah melaju.

Atmosfer di antara keduanya canggung. Tidak ada yang memulai obrolan. Hanya ada Shabrina yang melihat ke luar jendela dengan dagu yang ditopang oleh tangan kirinya sambil mengangguk-angguk pelan mengikuti alunan musik dari radio, dan adelio yang fokus mengemudi sambil sesekali melirik ke kiri dan memperhatikan Shabrina.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berdua berada di mobil yang sama—hanya mereka berdua. Terakhir kali adalah dua tahun lalu saat mereka masih kelas 9 dan Adelio baru bisa menyetir mobil lalu ia tiba-tiba saja muncul di depan rumah Shabrina dan mengajaknya pergi.

Masih dengan mata yang terus memperhatikan Shabrina, Adelio akhirnya membuka percakapan. “Gausah malu-malu kali. Kalo mau nyanyi mah nyanyi aja,” ledeknya.

Shabrina buru-buru membuang mukanya malu. Telinganya memerah. Ia selalu malu ketika kebiasaannya untuk bersenandung mengikuti lagu diketahui orang lain. Bersenandung itu hal yang normal. Jelas. Tidak perlu untuk ditutup-tutupi, tapi Shabrina itu bisa dibilang orang yang sangat peduli dengan penilaian orang lain akan dirinya, makanya dia selalu malu dengan hal ini. Ia tidak percaya diri dengan suaranya, itulah mengapa dia selalu melakukannya diam-diam. Akan tetapi, dulu, ketika bersama Adelio dia tidak pernah malu akan hal ini, meski dia sadar betul kalau Adelio memiliki suara yang merdu, Shabrina tetap nyaman di dekatnya.

Kejadian barusan benar-benar membuat Adelio sadar, hubungannya dan Shabrina sudah jelas sangat berbeda jika dibandingkan dulu. Banyak sekali PR-nya jika dia ingin kembali seperti dulu.

“Udah, sampai,” ujar Shabrina ketika mereka berdua sudah tiba di rumah dengan arsitektur mewah yang didominasi warna putih. “Makasih, yo,” lanjutnya sambil keluar dari mobil.

“Gua jalan, ya,” ucap Adelio melalui jendela yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Shabrina yang kemudian menghilang dibalik pintu besar rumahnya.

It all started when I was in 9th grade, almost a year ago. It was June to be exact. Bulan terakhir masuk sekolah sebelum graduation dan lanjut ke SMA.

Narendra was quite popular in school. Part of the basketball team, has lots of friends, smart, and —he's cute. I never denied the fact that he's cute whenever my friends talk about him. But this guy, he never really caught my attention untill that day. The last classmeeting that my batch held, and also the last day of school.

'Till this day, I still can't believe that this type of shit happened to me. I used to not believe love at first sight. And I'm really ashamed to admit that what happened to me is love at first sight.

That day Narendra was the person in charge for documentation. Walking around basketball hall taking picture with his camera while i was sitting in the tribune with my friends. Gue bukan anak yang aktif di sekolah waktu SMP dulu. Gue lebih sering bergaul sama temen gue yang itu-itu aja. Sebetulnya gue dulu anak OSIS dan pernah ikut beberapa kepanitiaan, tapi gue gak pernah jadi orang yang berperan penting di sana. Berbanding terbalik dengan Narendra yang always plays a big role in every events- -especially in documentation since he's good at it.

I was talking with my friends sambil sesekali ngelirik ke arah lapangan tempat pertandingan basket antar kelas dilaksanakan. I saw him standing on the side of the court, holding his camera towards me and my friends dan angkat tangannya sambil bilang, “Ayo dong senyum, mau gue foto. Liat ke kamera, ya! Satu, Dua, Tiga!” The camera flashed.

At the moment he lower his camera, he pointed his thumbs and said, “Bagus, fotonya. Kalo mau hasilnya minta ke gue aja!“ 

He then walked to the other side of the hall after throwing a smile to us.

Smile that me freeze for a second. 

Smile that made me mesmerized, captivated.

Sherina duduk di balkon villa menunggu Kayandhra yang katanya ingin mengobrol berdua. Hembusan angin yang dingin dan sejuk membuat Sherina sedikit kedinginan karena dirinya yang memang memakai kaos lengan pendek. Hari ini Sherina mungkin lelah, tapi dia sangat bahagia. Mulai dari sarapan, makan siang, Taman Safari, hingga karaoke sambil makan malam tadi benar-benar membuatnya tersenyum tiada henti. Bicara soal Taman Safari, Sherina gak benar-benar naik gajah, kok. Tadi mama memang mengajaknya ke sana, tapi Sherina menolak habis-habisan. Lagi pula benar kata Sherina. Kasian gajahnya kalau dia naik.

Di tengah lamunannya, Kayandhra datang dengan sebatang coklat di tangannya dan duduk di kursi yang berada persis di samping Sherina.

“Mau coklat?” Sherina mengangguk. Kayandhra tersenyum sekilas ketika memberikan coklat itu pada Sherina. “Sekalian jaket. Kedinginan kan?” sambungnya sambil melingkarkan jaket milik Sherina yang dibawanya dalam perjalanan ke balkon.

“Ya lumayan sih, tapi gak dingin banget.” Kayandhra hanya mengangguk pelan. Matanya menatap lurus ke depan memperhatikan lampu-lampu kota dari kejauhan. Hening tercipta di antara keduanya—hinga akhirnya Kayandhra kembali membuka suara.

“Sher, emang ya, kadang tuh kita harus liat sesuatu dari sudut yang berbeda.” Sherina yang namanya disebut tiba-tiba menoleh dengan mata yang melebar seakan meminta penjelasan lebih lanjut.

Kayandhra tersenyu, “Liat deh lampu-lampu itu.” Tangannya menunjuk lurus ke depan ke arah lampu-lampu di bawah bukit sana. “Biasanya kita selalu ada di tengah banyaknya lampu itu. Meskipun bukan lampu yang ini, tapi ngerti lah ya maksudnya gimana.”

Sherina tertawa sepintas. “Iya ngerti. Ayo sekarang lanjutin lagi.”

“Biasanya kita ada di antara hiruk-pikuknya kota yang mungkin di hari-hari tertentu kita juga udah bosen sama pemandangan itu. Tapi kadang kita lupa, kalau di lihat dari tempat lain, lampu-lampu yang bikin pusing itu bisa jadi bagus di liatnya. Kayak dari tempat kita sekarang deh, contohnya.”

Sherina mengangguk. “Maksudnya gini ya, kadang hal yang sama kalau di lihat dari sudut yang beda, waktu yang beda, dan tempat yang berbeda baru bisa keliatan indahnya.”

“Bener. Tapi kalau di hidup nyata mungkin gak cuma indahnya aja, tapi juga banyak hal lainnya. Karena sebenernya manusia itu jauh lebih rumit dari kelihatannya.”

Sherina lumayan mengerti apa yang dimaksud Kayandhra. Ketika kita mengenal seseorang akan selalu ada banyak tanda tanya yang kita punya. Entah itu baik atau buruk, akan selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. ‘Ngapain sih dia masakin gue mulu?’ hal-hal kayak gitu mungkin buat beberapa orang ga nyaman, tapi bagi sebagian orang lainnya, bisa jadi itu adalah unjuk rasa kalau dia peduli.

Intinya sih, manusia itu rumit. Banyak yang bisa dipelajari lebih dalam dari seseorang. Banyak yang bisa dikenal lebih jauh lagi dari seseorang. Kenal bukan berarti tau segalanya, karena manusia itu punya banyak sisi yang bisa berbeda-beda maknanya.

“Oke paham. Jadi kalau diaplikasiin ke kita nih, kira-kira gimana tuh,” tanggap Sherina.

“Kok tau sih, kalo itu yang bakal jadi inti pembicaraan kita malam ini?” tanya Kayandhra setengah heran. Setengahnya lagi ya dia tidak kaget, karena dirinya dan Sherina memang banyak kesamaan dalam cara berpikir.

“Kalau di kita nih, ya Sher. Aku akan seneng untuk mengenal dan mempelajari lebih banyak tentang semua hal yang ada di kamu dari sisi yang berbeda-beda. Aku akan sangat seneng lagi kalau aku akan ada di titik di mana aku paham sisi baiknya dari semua yang ada di kamu. Pun yang buruknya karena gak mungkin seseorang cuma ada baiknya aja.”

Mendengar jawaban Kayandhra, pipi Sherina perlahan merona. “Kalau aku… Aku juga akan seneng banget kalau bisa tau kamu lebih banyak lagi.”

Kayandhra tersenyum. “Belum 1 bulan sejak kita ketemu lagi setelah 4 tahun, tapi dalam 3 minggu terakhir ini juga udah cukup banyak waktu yang aku habisin sama kamu. Aku seneng banget setiap kali kita ketemu. Aku juga seneng setiap kali kamu chat aku. Kamu juga bisa tanya Ajid sama Saga gimana hebohnya aku. Kita emang sama-sama banyak berubah, tapi kalau yang satu itu aku tetep sama.”

Lagi-lagi Sherina tertawa. “Tetep suka gangguin Ajid sama Saga tengah malem buat tanya harus jawab apa, maksudnya?” tanyanya dengan nada mengejek.

“Iya yang itu…” jawab Kayandhra pelan karena sebetulnya terbesit sedikit rasa malu dalam dirinya. Udah se-usia ini kok masih aja bingung kalau chat gebetan. Itu yang dipikirnya.

“Kalau kamu inget, waktu aku nembak kamu dulu aku pernah bilang kalau kamu pacar pertamaku dan aku pengennya kamu jadi yang terakhir juga,” lanjut Kayandhra ketika dirinya sudah kembali tenang. “Kalau sekarang, aku gak minta kamu jadi pacar aku lagi kayak dulu. Aku juga gak tau apakah ini terlalu cepet buat kamu. Makanya aku serahin kamu mau sebut ini apa. Tapi kalau aku, aku pengen banget kita sama-sama lagi. Bareng-bareng lagi berbagi cerita di setiap ujung hari. Aku pengen terus dengerin ocehan kamu karena kehabisan buku yang kamu mau atau kamu yang kesel karena baju kamu lecek lagi padahal udah disetrika. Apa pun sebutanya, kalau sama kamu, aku mau. I know this is a very strong word, but I love you, Sher. I loved you and I still do.”

Malam itu rasanya menjadi malam di mana mereka benar-benar sadar kalau hadirnya di sisi masing-masing berarti lebih besar dari yang dulu pernah mereka kira. Sadar kalau ternyata nyaman benar-benar mereka temukan ketika bersama. Dan sadar kalau ternyata mereka benar-benar jatuh cinta.

“KAAA ITU PLASTIK ISINYA APAAA?” teriak Sherina selagi menuruni tangga. Di tengah ruang tamunya ada dua kantong plastik besar dengan logo supermarket ternama tercetak di depannya.

“BAWA AJA SINI KE DAPUR,” balas Kayandhra dengan kembali berteriak karena dirinya sedang mencuci tangan di dapur.

Sherina menarik kursi dan duduk di sebelah Kayandhra yang lagi sibuk melihat-lihat ke sekeliling.

“Ngapain?”

Alih-alih menjawab, Kayandhra justru balik bertanya. “Alat masak di mana?”

“Itu.” Sherina menunjuk ke arah pintu lemari yang berada tepat di bawah kompor.

Melihat Kayandhra mengambil teflon, Sherina baru paham apa yang akan dilakukan Kayandhra.

“Mau masak apa?” tanyanya lagi.

Kayandhra mengambil salah satu kantong plastik tadi yang rupanya berisi bahan masakan dan mengeluarkan tomat dari sana. “Telur pakai tomat dongg.”

“IHH ITU YANG DULU GUE SUKA BANGET BUKAN SIH???” seru Sherina antusias yang berakhir membuat Kayandhra tertawa.

“Hahahaha. Iya yang ituuu. Yang tiap makan minta nambah mulu ituuu,” jawab Kayandhra tidak kalah heboh. Sherina jadi malu sendiri melihat reaksi Kayandhra.

Demi mengalihkan topik, Sherina mengambil cookies buatannya dari meja makan dan membawanya mendekati Kayandhra yang sedang sibuk dengan aktivitas memasaknya.

“Mau sambil makan ini gak?”

“Mau.”

“Buka mulutnya,” pinta Sherina sambil menyodorkan cookies di tangannya.

“Enak?”

Kayandhra dengan mulut penuh menganggkuk-angguk.

Entah angin darimana, Sherina yang sejak tadi anteng sambil menyuapi Kayandhra tiba-tiba menggerutu. “Itu masaknya masih lama gak, Ka? Aku lapaaarrr.” Satu tangannya ia gunakan untuk menopang dagu, sedangkan yang satu lagi digunakannya untuk menepuk-nepuk perutnya tanda kelaparan.

Kayandhra tertawa pelan. “Udah ini udah,” ucapnya sambil membawa piring berisi nasi dan hasil masakannya tadi. “Mau makan di sini atau ruang makan?”

“Sini aja. Males pindah,” jawab Sherina.

Kayandhra mengangguk sekilas dan kemudian mengambil posisi untuk duduk di sebelah Sherina.

“Aduh aku jadi malu, deh diambilin gini. Berasa jadi tuan putri.” Sherina menyibak rambutnya dengan

“Loh, bukannya emang tuan putri? Soalnya dari tadi aku pusing nih ada princess dari mana cantik banget begini.”

Sherina mengangguk-angguk merespon perkataan Kayandhra barusan. “OOOOH, kalo aku princess berarti kamu dayangnya, ya.”

“Iya aku dayangnya. Makanya ini dimakan jangan ngomong mulu, kasian dayangnya udah masak,” kata Kayandhra sambil menyendokkan Sherina sesuap nasi. “Oh iya, terus kalo plastik yang satu lagi isinya apa, Ka?”

“Coklat sama chips yang kamu suka.”

“IH KEREN BANGET!! Makasih ya, dayangku,” goda Sherina.

“Sama-sama putriku,” balas Kayandhra dengan senyum lebar yang merekah di wajahnya.

Hari itu telur pakai tomat yang masaknya hanya 15 menit terasa jauh lebih nikmat dari biasanya. Mungkin memang benar apa yang sering dikata orang.

Makanannya boleh jadi biasa, tapi dengan siapa kamu menghabiskannya, itu yang membuat luar biasa

Kalau gue boleh jujur, kenal Sagara dan Zidane adalah salah satu hal yang paling gue syukuri. Gue akan jadi pembohong kalau gue bilang mereka bukan teman yang baik. Mereka berdua adalah tipe orang yang rela lakuin apa aja, asalkan orang di sekitarnya bahagia, walau kadang caranya aneh dan bikin geleng-geleng kepala. Kayak hari ini contohnya. Entah gimana mereka bisa kepikiran rencana ini, tapi mungkin kali ini gue harus berterima kasih sama mereka.

Gue duduk di sofa yang sama dengan Sherina. Sofanya berbentuk setengah lingkaran dengan gue di ujung yang satu dan Sherina di ujung satunya.

“Kita... dikerjain ya...” kata gue dengan senyum canggung yang melekat di wajah. Di sisi lain, Sherina, dia hanya ketawa malu-malu sambil memegang tengkuknya dan mata yang melirik kesana-kemari.

Gue dan Sherina berada di area outdoor dari restoran ini. Lokasinya yang berada di lantai cukup tinggi membuat gue bisa melihat jalanan ibu kota dari sini. Lengkap dengan lampu-lampu gedung dan jalanan yang mulai menyala karena hari sudah malam.

Gue gak mau kedengeran kayak omongan buaya, tapi gue serius. Di tengah banyaknya orang yang ada di sini, Sherina masih menjadi orang yang paling menarik perhatian gue. Meski terlihat sederhana dengan baju seadanya dan rambut panjang yang diikat satu, dari dulu sampai sekarang Sherina tetap menjadi satu-satunya orang yang membuat gue gak bisa melihat ke arah yang lain. Wanita cantik itu banyak, tapi Sherina Aileen—dia cuma satu.

Sherina tiba-tiba aja menggeser duduknya mendekat. Dia menyenggol pelan bahu gue. “Ka, makanan di sini mahal deh,” bisiknya dengan wajah merengut yang dibuat-buat. Dari dulu Sherina emang gak pernah mau keluarin uang banyak untuk makan. Bukan makan aja sih, di semua hal dia juga kayak gitu. Pokoknya kalau ada yang murah, ngapain pilih yang mahal.

“Ya emang mahal, Sher,” balas gue dengan balik berbisik.

Ia meringis. “Sayang, Ka. Mending makan pecel lele gak sih? 900 ribu bisa buat makan setahun.”

“Lu mau pecel lele?” tanya gue yang diiringi dengan tawa.

“Mau... ini kan gue sebenernya mau juga karena dipaksa Kinar...”

“Hahaha sama sih. Gue kalo gak karena disuruh Saga sama Ajid juga ogah.”

Gue sendiri kadang suka bingung sama dia. Ketika kebanyakan orang pengen makan malam di restoran mewah sama pasangannya, Sherina justru lebih seneng diajak makan angkringan sambil ngobrol ini itu tanpa harus perlu mikirin orang akan berpikir apa dengan tentang dirinya. Mungkin juga karena dia udah muak sama segala kemewahan yang dia punya dari kecil, kali ya. Kalau kata orang, orang kaya yang beneran kaya biasanya malah terlihat sederhana, karena semua barang dan hidup glamor yang dia punya itu udah gak ada artinya lagi.

Meski sayang sama uang yang dia punya, pada akhirnya Sherina tetep lebih pilih makan di sini. Alasannya karena dia gak enak sama temen-temennya yang udah usaha untuk reservasi tempat. Satu lagi alasan yang buat gue jatuh cinta. Dia selalu menghargai semua yang orang lakukan. Sekecil apa pun itu, artinya akan selalu besar di mata dia.

Orang yang gak suka Sherina, gue yakin itu karena mereka belum kenal dia aja. Serius deh, gak ada alasan untuk gak suka Sherina.

Makanya itu, sampai detik ini, gue masih merasa jadi orang paling bodoh karena segampang itu untuk lepasin Sherina. Rasa menyesal gue, 4 tahun terakhir ini tuh gak pernah hilang. Gue bodoh. Gue sadar. Tapi dulu, pada saat itu gue beneran sekalut itu. Gue tau papi emang bukan laki-laki yang baik, tapi gue pernah sangka kalau dia serendah itu. Gue juga gak sangka kalau selama ini mami udah pendem ini semua sendirian.

Selama gue masih hidup di dunia ini, gue gak akan pernah bosen untuk banggain mami di depan semua orang. Gak pernah sehari pun dalam hidup gue di mana gue gak kagum sama dia. Bener-bener orang baik, yang saking baiknya gak jarang diperlakukan seenaknya sama orang lain. Baiknya Sherina gak jarang bikin gue inget sama mami. Gue inget banget waktu pertama kali ketemu dulu. Lucu banget mereka berdua main puji-pujian. Gak sadar apa ya, di mata gue dua-duanya keren dengan caranya masing-masing.

Di hari prom night, hari di mana hubungan gue dan Sherina kandas, gue gak jelasin dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi sama gue. Di hari itu gue cuma bilang hal ini. Gue bilang kalau gue ragu sama diri gue sendiri. Gue ragu kalau kedepannya gue bisa jadi orang yang tepat buat dia. Sherina jelas gak mungkin iya-iya aja sama permintaan gue. Tapi pada akhirnya dia bilang. Mau seberusaha apapun yang satu, kalau yang lainnya ragu ya bisa apa. Gak akan jalan.

Omongan Sherina mungkin terkesan menusuk, tapi itu ada benarnya. Lebih baik berhenti dulu, urus hidup masing-masing, benahi pikirannya, baru di mulai lagi.

Tok tok tok.

Sherina mengetuk kaca mobil gue dari luar. Agenda makan malam kita hari ini udah selesai. Karena udah malam, serem juga kalau dia harus bawa mobil sendirian, gue akhirnya milih buat ngikutin mobil Sherina dari belakang. Atas izin dia tentunya. Tujuannya ya gak lain dari mastiin dia aman sampai rumah aja sih.

“Makasih ya, Ka udah anter sampai rumah. Walupun kita pisah mobil hahaha,” ucapnya setelah gue membuka jendela mobil.

“Iya sama-sama.”

Gak lama dari itu dia masuk ke dalam rumahnya–gak lupa dengan lambaian tangannya ke arah gue.

Setelah 4 tahun, gue akhirnya ketemu Sherina lagi. Selama ini gue pikir gue pelan-pelan akan lupain dia. Tapi ternyata, setelah akhirnya ketemu dia lagi gue baru sadar. Segala hal tentang dia masih melekat dengan jelas di kepala gue. Bahkan detail sekecil dia wangi parfum yang dia suka masih gue ingat dengan jelas.

Seandainya gue bisa kembali ke masa lalu, mungkin salah satu hal yang ingin gue lakukan adalah memaki diri gue 4 tahun yang lalu. Tapi nyatanya itu gak mungkin. Satu-satunya yang bisa gue lakukan sekarang cuma perbaiki semuanya. Berusaha perbaiki hubungan gue dengan Sherina yang udah hancur, dan mungkin memulai semuanya lagi dari awal. Dan kalau ditanya apa alasan gue jatuh cinta dengan Sherina, gue rasa sampai kapan pun gue gak akan bisa jawab.

Gue jatuh cinta karena dia Sherina. Bukan yang lain.

Sherina duduk di salah satu sofa yang ada di lobby kantor ini. Gedung 5 tingkat ini adalah kantor pusat dari Got The Beat Entertainment—agensi hiburan yang menaungi Kayandhra dan banyak artis tanah air lainnya. Sebetulnya, alih-alih disebut sebagai perkantoran, lobby gedung ini lebih cocok dijadikan lobby hotel bintang 5. Benar-benar luas dengan interior yang mewah. Wajar sih, artis jebolan agensi ini saja semuanya sangat sukses dan terkenal.

Hari ini akan menjadi pertemuan pertama Sherina dengan seluruh pemain sekaligus reading naskah pertama bagi para aktor dan aktris. Sebagai penulis novel Sunflower, Sherina ingin dirinya terlibat sebanyak mungkin dalam proses pembuatan film ini. Dia tidak mau melepasnya asal ke sembarang orang, lantas di akhir dia kecewa karena tak sesuai ekspektasi. Karena itu lah dirinya ada di sini hari ini.

Masih di sofa tempatnya duduk tadi, Sherina melihat ke kanan-kiri barang kali Yena sudah datang. Ketika ia hendak mengambil ponselnya dan bertanya di mana Yena untuk kedua kalinya, seorang laki-laki yang baru saja memasuki gedung menangkap perhatiannya. Laki-laki itu menggunakan celana hitam dengan hoodie biru dongker dan airpods di telinga kanannya.

“Iya iya ini gue udah sampe,” cakap laki-laki itu dengan seseorang di seberang sana.

“Anjir iya, ini mau naik gausah ngomel mulu.” Dia melepas airpods dari telinganya dengan wajah mengernyit. Sepertinya dia baru saja dimarahi.

Bodohnya Sherina, pandangannya sejak tadi tidak lepas dari laki-laki itu. Sialnya lagi, orang itu sadar akan keberadaan Sherina dan malah datang menghampirinya. Sherina buru-buru mengalihkan pandangannya—berpura-pura tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Kedua tangannya ia gunakan untuk membenarkan rambutnya—yang sebenarnya tidak berantakan—agar ia terkesan sedang sibuk sendiri.

“Sher?” panggil laki-laki itu.

Mampus gueee. Detik itu juga ingin rasanya Sherina terbang ke Mars dan hidup dengan tenang bersama alien di sana.

Sebenarnya Sherina sadar betul kalau cepat atau lambat dia memang akan segera bertemu dengan orang ini, tapi dengan situasi yang mendadak begini, kejadian memalukan di Dufan beberapa bulan lalu kembali terputar dengan jelas di kepalanya.

“Eh, ini bener Sherina kan, ya?” tanya laki-laki itu memastikan.

“Hehehe... Iya...” jawabnya ragu-ragu. Matanya melirik kesana kemari menghindari saling tatap. Detik ini juga ia benar-benar menyesal kenapa waktu itu dia mengikuti saran Kinara. Niatnya sih biar lega, tapi akhirnya malah jadi bumerang untuk diri sendiri.

“Hahaha, kenapa gitu sih, Sher. Kayak takut banget sama gue. Gue belum makan orang kok, tenang.” Kayandhra berusaha mencairkan suasana yang lagi-lagi makin membuat Sherina ingin kabur saja rasanya.

KAK YENA MANA SIHHH KOK LAMA BANGET, jeritnya dalam hati.

Setelah beberapa menit terakhir hanya diam mematung, Sherina akhirnya memiliki keberanian untuk bertanya. “Lo... mau ke atas juga ya, Kay?”

“Iya. Lo udah daritadi? Kenapa belum naik?” Kayandhra menggeser sedikit sofa yang ada di depan Sherina dan duduk di sana.

“Lagi nunggu temen.” Kayandhra hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Sherina.

Sekarang hanya hening yang tersisa di antara keduanya. Kayandhra yang bingung mau bertanya apa lagi, dan Sherina yang memang menghindari percakapan. Sherina bolak-balik menunduk melihat sepatunya karena bingung mau apa, sedangkan Kayandhra hanya menggeser-geser layar ponselnya agar tidak terlihat diam saja.

“Sher!” Tepat waktu. Akhirnya orang yang kehadirannya sangat ditunggu Sherina tiba juga. Yena datang dengan membawa satu gelas iced cappucino di tangan kanannya.

“Ayo naik,” ajaknya kepada Sherina. Sherina langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu pun dengan Kayandhra.

“Eh, udah ada Kay juga ternyata. Kenapa gak naik duluan aja, Kay? Si Zidane dari tadi udah heboh aja takut kamu telat.” Yena memimpin langkah mereka menuju lift. Posisi ketiganya saat ini sudah seperti bos yang didampingi dua orang pengawalnya. Yena berjalan di depan dengan Kayandhra dan Sherina di kiri-kanannya.

“Hahaha iya Kak, dari tadi aku ditelfonin mulu sama dia. Padahal dia aja yang lebay.” Yena terkekeh pelan mendengar jawaban Kayandhra.

Yena dan Kayandhra sudah pernah bertemu sebelumnya. Waktu penanda tanganan kontrak, Yena menjadi salah satu perwakilan dari pihak Future Publisher. Saat itu lah keduanya bertemu. Oh iya, impian Yena waktu di Dufan yang ingin tanda tangan Kayandhra kini sudah tercapai. Di hari penada tanganan itu Yena juga sekalian meminta tanda tangan Kayandhra. Duh, Yena ini sepertinya impian semua penggemar, ya. Awalnya hanya bisa lihat di layar kaca tapi sekarang justru sering bertemu karena pekerjaan.

“Eh iya Sher, nih minumanmu.” Yena menyodorkan minuman yang tadi dipegangnya ketika mereka sudah berada di dalam lift.

“Makasih, Kak.” Sherina menerima minuman dari Yena dan kemudian kembali diam seperti sebelumnya

“Ih, kamu kenapa diem mulu sih? Biasanya juga bawel,” rutuk Yena karena kesal dengan sikap aneh Sherina yang tidak seperti biasanya.

“Lagi males ngomong aja,” jawabnya seadanya.

“Kay, dia nih kenapa sih? Dia waktu SMA juga gini gak kalo sama kamu?” tanya Yena kepada Kayandhra.

“Iya emang gi—”

Belum tuntas Sherina berbicara, Kayandhra justru menjawab, “Engga Kak, dulu dia mah bawel banget kalo sama aku,” dengan nada yang melebih-lebihkan.

Ingin sekali Sherina menjambak rambut Kayandhra dan menyuruhnya diam saat itu juga. Melihat Sherina yang sepertinya makin bete, Kayandhra malah cengengesan. Yena yang ada di tengah-tengah mereka bolak-balik memperhatikan keduanya berusaha menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Hari ini, Yena benar-benar jadi penyelamat mereka. Coba bayangkan kalau tadi Yena tidak kunjung datang dan mereka terpaksa naik lift berdua. Sudah tidak terbayang akan secanggung apa jadinya. Kalau di film-film, backsound suara jangkring sudah pasti akan diputar detik itu juga saking canggungnya atmosfer di sana.

Bicara soal pertemuan keduanya hari ini, boleh jadi pertemuan ini akan jadi permulaan bagi kisah mereka di lain waktu. Awalan baru untuk menyambung kisah yang pernah ada, awalan baru untuk yang kedua kalinya.

“Bang, pesen satenya 10 tusuk dong!” ucap Valesha setengah berteriak kepada Bang Nono yang sedang sibuk membolak-balikan sate.

“Ga kurang, neng? Biasanya aja pesen 20.” Bang Nono menghampiri meja Kayandhra dan Valesha setelah ia mengantarkan pesanan pelanggan lain.

“Kalo pesen 20 dapet diskon gak nih, bang?” tanya Valesha iseng.

“Ah gampang kalo itu.” Bang Nono mendekatkan dirinya ke Valesha dan Kayandhra agar pelanggan lain tidak mendengar pembicaraan mereka. “Kalo Neng Vale sama Mas Kay yang pesen mah pasti dapet diskon. Kan pelanggan setia.”

“Widih, mantap dong bang kalo gitu,” sambar Kayandhra.

“Iya dong.” Bang Nono mengacungkan jempolnya. “Tapi nanti minta fotonya, ya.”

“Yah si abang ada maunya ternyata. Tapi beneran diskon gak, nih?” tanya Kayandhra jahil.

“Gampang itu mah. Kayak sama siapa aja Hahaha.” Bang Nono meninggalkan Kayandhra dan Valesha berdua di mejanya dengan tawa.

Angkringan sate taichan Bang Nono sudah sering didatangi oleh Kayandhra dan Valesha. Jualan Abang Nono ini memang hanya buka di malam hari, dari pukul 7 hingga 2 dini hari. Setahun yang lalu, Valesha dan Kayandhra pernah terlibat dalam suatu project yang sama. Salah satu kru foto di project itu lah yang pertama kali mengajak mereka makan di situ. Dan entah bagaimana, Kayandhra dan Valesha malah berakhir menjadi salah satu pelanggan setia Bang Nono.

Sekitar 15 menit dari memesan sate, akhirnya Bang Nono datang dengan 1 piring berisi 20 tusuk sate dan 2 mangkuk nasi putih, tak lupa dilengkapi dengan 2 gelas es teh manis.

“Mantap, bang. Makasih, ya,” ucap Kayandhra. Menanggapi itu, Bang Nono hanya mengacungkan ibu jarinya sambil berjalan kembali menuju panggangan.

“Kay, lo suka mikir gini gak sih?”

Kayandhra yang baru saja hendak menyuap nasi menoleh ke arah perempuan yang duduk di hadapannya. “Mikir apa?”

“Sate taichan sebenernya Cuma sate dikasih micin sama sambel kan, ya. Tapi kok bisa enak banget. Aneh.” Gadis itu memasang wajah serius dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Hahahaha. Telen dulu kali baru ngomong. Udah jelek makin jelek.”

“Dih apasih sok asik,” jawab Valesha yang setelah itu sibuk melanjutkan makannya.

Di tengah asiknya makan mereka, tiba-tiba saja Valesha teringat apa tujuan awal mereka datang ke sini.

“Lu belum lanjutin cerita yang tadi tau. Lanjutin cepet. Tadi sampe lu bilang awalnya dia ga suka sama lu.”

“Harus banget nih?” Valesha mengangguk antusias menanggapi.

“Ya singkatnya sih, mereka emang udah temenan duluan. Terus waktu itu dia lupa bawa topi pas upacara. Berhubung gue, Ajid, sama temen gue yang lain mau cabut ke warung sebelah jadi ya gue pinjemin aja. Pas dia chat gue bilang makasih, gue isengin aja dia. Oh iya gue lupa bilang, dia pernah ngumpetin sepatu gue karena dendam kepalanya kena bola.”

“Anjir drama banget,” tanggap Valesha.

“Ya emang.” “Oke lanjut.”

“Terus yaudah sih gitu aja. Awalnya gue juga sebel sama dia. Gue mikirnya tuh kayak, ‘anjing ini orang pendendam banget’. Tapi gangerti gimana gue tiba-tiba terpeseona. Terus yaudah gue deketin. HAHAHA apasih cringe banget.”

Valesha mengangguk-angguk. “Buaya ya ternyata anda ini pas SMA.”

“Ya gak gitu juga!” protes Kayandhra sambil mencipratkan air kobokan cuci tangan ke Valesha.

Makanan mereka berdua sudah habis. Nikmat sekali rasanya.

Valesha menepuk-nepuk pelan perutnya. Ia kekenyangan. “Berarti lu sama dia pernah pacaran kan, ya?”

Kayandhra mengangguk. “Iya pernah. Sebentar doang tapi, gak sampai setahun. Tapi bisa dibilang putusnya karena gue yang ah sudahlah.”

“Putusnya kenapa?.”

“Ummm… Gimana ya bilangnya.” Kayandhra terlihat berpikir sejenak—menyusun dan memilah kata yang tepat untuk ia sampaikan. “Keluarga gue bisa dibilang gak terlalu harmonis, Val.”

“I’m so sorry to hear that,” ucap Valesha sedikit merasa bersalah—takut kalau dirinya malah membuka luka lama Kayandhra.

“It’s fine, Val. I’m okay. Lagian udah lewat lama juga.” Kayandhra tertawa pelan. “Hubungan gue dan bokap emang gak terlalu baik, tapi gue deket banget sama nyokap. She’s a really loving and caring person. Gue juga bingung kenapa bisa-bisanya papi sia-sia in orang sebaik itu.”

Kayandhra mendengakkan kepalanya demi melihat langit malam Jakarta yang sebetulnya tidak seindah itu karena tertutup polusi. “Selama ini yang gue tau mereka ribut ya sekedar beda pendapat aja. Tapi saat itu gue dan kakak-kakaknya mami baru tau kalau ternyata bokap sering banget rendahin mami di hadapan kolega-koleganya. Nyokap gak pernah cerita sama kita. Mami itu bungsu kesayangan. Kakaknya gak terima begitu tau ternyata selama ini adiknya diperlakukan gak baik. Itu juga alasan akhirnya mereka cerai. Dorongan dari keluarga mami.”

Kay I’m so sorry… Gue sedih banget… Gue boleh peluk lo gak sih? A friendly hug?” Kayandhra mengangguk meng-iya-kan. Valesha berpindah tempat duduk ke sebelah kayandhra dan memeluk Kayandhra dari samping.

Kayandhra menjatuhkan kepalanya ke pundak Valesha. “Ini sekarang gue kayak anak kecil yang lagi ditenangin sama ibunya, tau.”

Valesha menyentil pelan kening Kayandhra. “Diem ah. Gue beneran sedih. Nyokap lo pasti orang yang baik banget, ya.”

“Iya dia baik banget. By the way… gue putus juga karena itu. I feel like I lost hope for love, Val. All this time I always thought that maybe one day there will come a day dimana ortu gue akan memperbaiki hubungan mereka. Tapi nyatanya hari itu gak pernah ada. Love is a bullshit. Itu yang gue pikirin saat itu. And my stupid ass malah mutusin Sherina karena gue yang bergelut dengan diri gue sendiri tanpa ngasih kejelasan ke dia. I really am a coward, Val.

“Jangan ngomong gitu ah. Gue paham kok kenapa lo bisa akhirnya ngambil keputusan itu.” Valesha mengelus lembut rambut Kayandhra. “Menurut gue, keputusan lo buat berdamai dengan diri lo sendiri terlebih dahulu udah bener banget. Tapi kalo kata gue, if one day you ever had the chance to, talk to her, Kay. I really can tell how much you love her just by looking through your eyes.

“Kalau dia gamau sama gue gimana?”

You’ll never know if you never try. Problems in a relationship is something that you can fix. Selama bukan selinguh, itu pasti bisa diperbaiki, Kay. Atau jangan-jangan lo takut keduluan sama Ajid, ya? HAHAHAHA.”

“Diem lu. Gausah menusuk gue dengan fakta.”

“HAHAHAHA. Tapi ya Kay, kalau emang mereka berdua, yang patah hati kan gak cuma lu doang. Gue juga kali.” Kalimat Valesha terpotong sebentar sebelum ia kembali melanjutkan. “Atau kita berdua aja kali, ya? Sesama pasukan tertinggalkan bersatu,” kata Valesha jahil.

Kayandhra menepuk pipi Valesha. “Anjing, ya gausah ditampar juga guenya! Gue juga gamau sama lu kali! Maunya sama Ajid.”

“Bagus, tetep optimis aja. Ajid buat lu terus Sherina buat gue.”

“Ya terserah lu deh. Gue mau pulang. Ayo supirku, antarkan aku pulang.” Valesha berjalan ke mobil dan meninggalkan Kayandhra.

“Gue turunin di jalan baru tau rasa lu Valesha!!”

Aku sedang menunggu Kak Yena ketika mendapat pesan itu dari Zidane. Kak Yena bilang dia akan ke tempatku setelah dia menghabiskan makanan yang dibelinya tadi.

Sejujurnya aku sedikit terkejut membaca pesan dari Zidane. Sepanjang 6 tahun berteman dengannya, belum pernah sekali pun aku tanpa sengaja bertemu dengan dia. Meski entah toilet mana yang ia maksud, tetap saja kami berada di kawasan yang sama.

Aku bosan menunggu. Sudah hampir 10 menit aku berdiri di sini. Mau pindah, tapi takut nanti Kak Yena sulit mencarinya. Pada akhirnya aku memilih untuk diam dan memainkan ponselku walau tak tau apalagi yang ingin kulihat di sana. Sejak tadi aku hanya bolak-balik membuka Instagram dan kemudian menggeser-geser home screen. Tidak ada yang menarik.

Aku kembali membuka room chat dengan Zidane. Aku baru menyadari sesuatu. Foto yang ada di story Zidane adalah repost dari story Sagara. Waktu SMA dulu, Zidane, Sagara, dan Kayandhra, 3 orang itu sering kali disebut perangko oleh guru-guru. Kemana saja mereka selalu bersama. Kalau yang 1 pergi, yang lain pasti ikut. Yang 1 loncat pagar, yang lain pun loncat pagar. Dari cerita yang ku dengar dari Zidane, sih sampai saat ini mereka masih begitu. Mungkin hari ini juga begitu. Mungkin Kayandhra juga ada di Dufan hari ini.

“Elah, ini orang 2 pada dimana, sih.” Aku mendengar rutukan dari seseorang yang baru saja keluar dari area toilet laki-laki.

Aku penasaran. Rasanya suara itu tidak asing. Aku menoleh ke kiri, ke arah laki-laki itu. Awalnya aku tidak mengenali siapa dia karena wajahnya tertutup masker ditambah lagi ia mengenakan topi. Sampai akhirnya dia menyadari keberadaanku dan menoleh ke arahku. Mata kami bertatapan untuk beberapa detik sebelum dia kembali mengalihkan pandangannya.

Mata itu. Aku jelas sekali mengenali siapa pemiliknya. 4 tahun tidak melihatnya tidak akan membuatku lupa dengan itu. Aku yakin sekali aku tau siapa dia. Dia yang dulunya pernah menjadi alasanku tersenyum. Aku berani mengaku kepada semua orang kalau yang ada di hadapanku ini adalah Kayandhra Mahavir. Aku tidak mungkin salah.

2 menit tidak ada percakapan apa-apa. Bertukar pandang pun tidak. Aku tidak berani menegurnya. Aku pun tidak bisa menyalahkan dia. Mungkin saja dia memang tidak ingat siapa aku. Mungkin ingatan akan ku memang sudah benar-benar hilang dari kepalanya. Tidak seperti aku yang terus-menerus terikat masa lalu layaknya orang bodoh, dia jelas sekali telah menjalani kehidupannya dengan baik.

Aku rasa akan lebih baik kalau aku berpindah ke tempat lain. Entah hanya perasaanku atau tidak, tapi rasanya suasana di sini seketika sangat canggung. Dufan siang ini sangat ramai—tentu saja—tapi anehnya keheningan ini justru jauh lebih terasa dari pada teriakan pengunjung lain yang terus bersahut-sahutan sejak tadi.

Baru saja aku melangkahkan kaki, sampai akhirnya suara itu kembali terdengar. Suara yang belum pernah kudengar secara langsung 4 tahun lamanya.

“Sherina.” Laki-laki itu membuka maskernya saat aku menoleh ke padanya.

Aku benar. Dia memang Kayandhra.

“Hai, Sher. Apa kabar?”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Baik. Lo gimana?”

“Baik juga,” jawabnya.

“Lo—sama Zidane Sagara, ya?” tanyaku basa-basi walau sebenarnya aku sudah tau jawabannya.

“Hahaha iya, tapi anaknya gatau deh dimana. Kalo lo sama siapa, Sher?”

“Ada temen. Cewe.” Entah untuk apa aku menambahkan informasi itu. Padahal ya sebenarnya dia tidak perlu tau. Memangnya apa urusan dia kalau pun saat ini akan jalan dengan seorang pria?

Aduh, aku bingung sekali harus membicarakan apa lagi. Aku benar-benar berharap Kak Yena segera menguhubungiku dan bilang dia sudah jalan menuju ke sini. Sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk lebih lama lagi berada di sini.

Ting!

Wah, detik ini juga rasanya aku mau peluk Kak Yena. Benar-benar di saat yang tepat. Dia bilang dia ada beberapa meter di depanku. Dia juga bilang melihatku sedang mengobrol.

“Ka, gue duluan, ya. Temen gue udah balik.”

“Oh, iya. Have a nice day ya, Sher!”

“Iya. Lo juga, ya!” 2 langkah berjalan, aku baru ingat belum melakukan sesuatu.

Aku berbalik arah ke tempat Kay masih diam di sana.

“Kenapa, Sher? Kok balik?”

“Bentar, lo diem dulu.” Aku mencari sesuatu di dalam tasku. Iya, aku mencari campuran air garam yang aku bicarakan dengan Kinara waktu itu.

Nah, akhirnya ketemu.

“Balik badan bentar, Ka.” Wajah Kay terlihat bingung meski pada akhirnya dia tetap membalikkan badannya.

Dengan penuh rasa dendam aku menyemprotakan sebanyak-banyaknya air garam ke punggung Kay. Aku tidak tahan mau tertawa sebetulnya. Coba bayangkan saja, seorang Kayandhra, punggungnya disirami air garam. Tapi kan kalau aku ketawa nanti wibawanya hilang, dong.

Kalau orang-orang mau bilang aku aneh, aku gak bakal mengelak, sih. Memang apa sebutan untuk orang yang menyemprotkan air garam ke punggung mantannya di Dufan kalau bukan orang aneh.

Sebetulnya, ya, rencana awalku tuh ingin aku guyur saja mukanya. Tapi aku tidak tega, ah. Kasian. Gini aja cukup.

“Dah, Ka gitu aja. Gue pergi, ya.” Aku berlari meninggalkan Kay. Karena malu juga sih sebenarnya.

Setelah sedikit menjauh aku mendengar suara tawa Zidane dan Sagara. Mereka bersembunyi di toilet rupanya. Sepertinya mereka menyaksikan semua hal tadi. Sayup-sayup aku juga mendengar Sagara bilang ke Zidane, “Ini sih beneran jodoh, Jid.”

“Siapa?” tanya Kak Yena ketika aku menghampirinya.

“Temen SMA,” jawabku.

Kak Yena mengangguk sambil kami berdua berjalan menuju ke wahana selanjutnya yang ingin kami mainkan.

“Tapi kok agak mirip Kayandhra yang artis itu deh, Sher? Atau perasaanku aja ya?”

“Hahahaha.”

“KOK KETAWA SIH? Ya sorry kalau salah. Mataku emang agak ga jelas,” rutuk Kak Yena.

“Bukan gitu, Kak. Aku ketawa soalnya itu emang bener Kayandhra,” jawabku masih diiringi sengan tawa pelan.

“Loh serius? Kamu satu SMA sama dia? Aduh, aku tuh fans dia tau. Boleh mintain tanda tangan ke dia gak sih, Sher?” Kak Yena menggebu-gebu. Sepertinya dia memang benar-benar fans Kayandhra.

“Duh, kalau itu susah deh kayaknya. Aku gak deket sama dia,” jawabku yang aku akhiri dengan senyum pahit.

Pernah. Pernah jadi yang terdekat tapi sekarang jadi yang paling jauh. Layaknya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu, seperti itu lah pertemuan pertamaku dengan Kayandhra setelah 4 tahun.

— Sherina Aileen, 20 Oct 2021

Aku sedang menunggu Kak Yena ketika mendapat pesan itu dari Zidane. Kak Yena bilang dia akan ke tempatku setelah dia menghabiskan makanan yang dibelinya tadi. Sejujurnya aku sedikit terkejut membaca pesan dari Zidane. Sepanjang hampir 6 tahun berteman dengannya, belum pernah sekali pun aku tanpa sengaja bertemu dengan dia. Meski entah toilet mana yang ia maksud, tetap saja kami berada di kawasan yang sama.

Aku bosan menunggu. Sudah hampir 10 menit aku berdiri di sini. Mau pindah, tapi takut nanti Kak Yena sulit mencarinya. Pada akhirnya aku memilih untuk diam dan memainkan ponselku walau tak tau apalagi yang ingin kulihat di sana. Sejak tadi aku hanya bolak-balik membuka Instagram dan kemudian menggeser-geser home screen. Tidak ada yang menarik.

Aku kembali membuka room chat dengan Zidane. Aku baru menyadari sesuatu. Foto yang ada di story Zidane adalah repost dari story Sagara. Waktu SMA dulu, Zidane, Sagara, dan Kayandhra, 3 orang itu sering kali disebut perangko oleh guru-guru. Kemana saja mereka selalu bersama. Kalau yang 1 pergi, yang lain pasti ikut. Yang 1 loncat pagar, yang lain pun loncat pagar. Dari cerita yang ku dengar dari Zidane, sih sampai saat ini mereka masih begitu. Mungkin hari ini juga begitu. Mungkin Kayandhra juga ada di dufan hari ini.

“Elah, ini orang 2 pada dimana, sih.” Samar-samar aku mendengar rutukan dari seseorang yang baru saja keluar dari area toilet laki-laki.

Aku penasaran. Rasanya suara itu tidak asing. Aku menoleh ke kiri, ke arah laki-laki itu. Awalnya aku tidak mengenali siapa dia karena wajahnya tertutup masker ditambah lagi ia mengenakan topi. Sampai akhirnya dia menyadari keberadaanku dan menoleh ke arahku. Mata kami bertatapan untuk beberapa detik sebelum dia kembali mengalihkan pandangannya.

Mata itu. Aku jelas sekali mengenali siapa pemiliknya. 4 tahun tidak melihatnya tidak akan membuatku lupa dengan itu. Aku yakin sekali aku tau siapa dia. Dia yang dulunya pernah menjadi alasanku tersenyum. Aku berani mengaku kepada semua orang kalau yang ada di hadapanku ini adalah Kayandhra Mahavir. Aku tidak mungkin salah.

2 menit tidak ada percakapan apa-apa. Bertukar pandang pun tidak. Aku tidak berani menegurnya. Aku pun tidak bisa menyalahkan dia. Mungkin saja dia memang tidak ingat siapa aku. Mungkin ingatan akan ku memang sudah benar-benar hilang dari kepalanya. Tidak seperti aku yang terus-menerus terikat masa lalu layaknya orang bodoh, dia jelas sekali telah menjalani kehidupannya dengan baik.

Aku rasa akan lebih baik kalau aku berpindah ke tempat lain. Entah hanya perasaanku atau tidak, tapi rasanya suasana di sini seketika sangat canggung. Dufan siang ini sangat ramai—tentu saja—tapi anehnya keheningan ini justru jauh lebih terasa daripada teriakan orang yang terus bersahut-sahutan sejak tadi.

Baru saja aku melangkahkan kaki, sampai akhirnya suara itu kembali terdengar. Suara yang belum pernah kudengar secara langsung 4 tahun lamanya.

“Sherina.” Laki-laki itu membuka maskernya saat aku menoleh ke padanya.

Aku benar. Dia memang Kayandhra.

“Hai, Sher. Apa kabar?”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Baik. Lo gimana?”

“Baik juga,” jawabnya.

“Lo—sama Zidane Sagara, ya?” tanyaku basa-basi walau sebenarnya aku sudah tau jawabannya.

“Hahaha iya, tapi anaknya gatau dimana. Kalo lo sama siapa, Sher?”

“Ada temen. Cewe.” Entah untuk apa aku menambahkan informasi itu. Padahal ya sebenarnya dia tidak perlu tau. Memangnya apa urusan dia kalau pun saat ini akan jalan dengan seorang pria?

Aduh, aku bingung sekali harus membicarakan apa lagi. Aku benar-benar berharap Kak Yena segera menguhubungiku dan bilang dia sudah jalan menuju ke sini. Sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk lebih lama berada di sini.

Ting!

Wah, detik ini juga rasanya aku mau peluk Kak Yena. Benar-benar di saat yang tepat. Dia bilang dia ada beberapa meter di depanku. Dia juga bilang melihatku sedang mengobrol.

“Ka, gue duluan, ya. Temen gue udah balik.”

“Oh, iya. Have a nice day ya, Sher!”

“Iya. Lo juga, ya!” 2 langkah berjalan, aku baru ingat belum melakukan sesuatu.

Aku berbalik arah ke tempat Kay masih diam di sana.

“Kenapa, Sher? Kok balik?”

“Bentar, lo diem dulu.” Aku mencari sesuatu di dalam tasku. Iya, aku mencari campuran air gara, yang aku bicarakan dengan Kinara waktu itu. Nah, akhirnya ketemu.

“Balik badan bentar, Ka.” Wajah Kay terlihat bingung meski pada akhirnya dia tetap membalikkan badannya.

Dengan penuh rasa dendam aku menyemprotakan sebanyak-banyaknya air garam ke punggung Kay. Aku tidak tahan mau tertawa sebetulnya. Coba bayangkan saja, seorang Kayandhra, punggungnya disiramin air garam. Tapi kan kalau aku ketawa nanti wibawanya hilang, dong. Kalau orang-orang mau bilang aku aneh, aku gak bakal mengelak sih. Memang apa sebutan untuk orang yang menyemprotkan air garam ke punggung mantannya di Dufan kalau bukan orang aneh.

Sebetulnya, ya, rencana awalku tuh ingin aku guyur saja mukanya. Tapi aku tidak tega, ah. Kasian. Gini aja cukup.

“Dah, Ka gitu aja. Gue pergi, ya.” Aku berlali meninggalkan Kay. Karena malu juga sih sebenarnya.

Setelah sedikit menjauh aku mendengar suara tawa Zidane dan Sagara. Mereka bersembunyi di toilet rupanya. Sepertinya mereka menyaksikan semua hal tadi. Sayup-sayup aku juga mendengar Sagara bilang ke Zidane, “Ini sih beneran jodoh, Jid.”

“Siapa?” tanya Kak Yena ketika aku menghampirinya.

“Temen SMA.” Kak Yena mengangguk sambil kami berdua berjalan menuju ke wahana selanjutnya yang ingin kami mainkan.

“Tapi kok agak mirip Kayandhra yang artis itu deh, Sher? Atau perasaanku aja ya?”

“Hahahaha.” Aku tertawa.

“KOK KETAWA SIH? Ya sorry kalau salah. Mataku emang agak ga jelas,” rutuk Kak Yena.

“Bukan gitu, Kak. Aku ketawa soalnya itu emang bener Kayandhra,” jawabku masih diiringi sengan tawa pelan.

“Loh serius? Kamu satu SMA sama dia? Aduh, aku tuh fans dia tau. Boleh mintain tanda tangan ke dia gak sih, Sher?” Kak Yena menggebu-gebu. Sepertinya dia memang benar-benar fans Kayandhra.

“Duh, kalau itu susah deh kayaknya. Aku gak deket sama dia,” jawabku yang aku akhiri dengan senyum pahit.

Sudah 5 menit sejak Sherina masuk ke dalam mobil milik Kayandhra. Alih-alih menjalankan mobilnya, Kay justru duduk diam di bangku pengemudi dengan tatapan kosong. Menyapa Sherina pun tidak.

Sherina tertawa sekaligus bingung dengan tingkah laku Kay. “Woi, lu kenapa sih? Kayaknya yang lagi ngambek tuh lo, deh bukan gue.”

Kayandhra seketika tersadar dari lamunannya.

“Hah engga, ga gitu. Gue lagi deg-deg an aja.”

Dia tidak berbohong saat mengatakan itu. Sejak detik pertama Sherina duduk di sebelahnya, tangannya terus-menerus mengeluarkan keringat. Dia sampai kewalahan sendiri dari tadi.

Melihat gelagat Kay yang tidak biasa, Sherina meletakkan tangannya di kening laki-laki itu.

“Lu sakit ya?”

“Ha-hah Engga. Sehat banget k-kok ini.” Kay memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia salah tingkah.

“Tapi kok mukanya merah?”

“Engga udah gapapa. Mau makan dimana?” tanya Kayandhra sambil mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir, tanpa menoleh sedikit pun.

Ketara sekali kalau sejak tadi dia menghindari bertatapan dengan Sherina. Sang wanita pun sadar akan itu. Dia hanya pura-pura tidak tau saja. Itu pula mengapa sejak tadi Sherina terlihat seperti sedang menahan tawa.


“Sher, bensin gue habis. Mampir pom bensin dulu, ya,” kata Kayandhra tiba-tiba yang hanya dibalas anggukan oleh Sherina.

Pom bensin hari itu sangat ramai. Langit yang sudah gelap ditambah hujan yang luar biasa deras membuat banyak sekali pengandara motor berteduh di sana.

Mobil sedan hitam milik Kayandhra berhenti. Ada setidaknya 5 mobil lain yang mengantri di depan mereka. Bosan menunggu, ide jail ini terlintas di kepala Sherina.

Sherina menepuk pelan bahu Kayandhra. “Kay, lu mau ngomong apa emang?”

Uhuk uhuk

Kayandhra kaget bukan main. Hampir saja ia tersedak air mineral yang sedang diminumnya. Bagus air itu tidak menyembur ke arah Sherina. Rusak sudah harga dirinya kalau itu terjadi.

“HAHAHAHAHA. Santai aja kali kay.” Puas sekali sepertinya dia melihat Kayandhra tersiska.

“Lu beneran mau tau?” tanya Kay dengan wajah serius.

“Mau.”

“Sekarang banget?”

“Iya.” Angguk Sherina antusias

“Di pom bensin?”

“Iya Kayandhra.”

Kayandhra menarik napas panjang. Mengumpulkan segala keberanian yang dimilikinya demi mengungkapkan untaian kata yang sudah disiapkannya sejak 2 hari lalu. Rentetan kalimat yang membuat Zidane dan Sagara marah-marah karena ia terus-terusan mengulang kalimat itu di depan mereka berdua.

Masih dengan jantung yang berdegup kencang akhirnya laki-laki itu bersuara.

“Sher, dari dulu gue gak pernah bener-bener suka sama seseorang. Gak pernah ada 1 perempuan pun yang bisa bikin gue gabisa tidur cuma karena dia bilang makasih udah di-anterin pulang. Gak pernah ada perempuan yang bikin gue semangat main basket cuma karena dia duduk di tribun buat nonton gue. Tapi kayaknya akhir-akhir ini gue agak aneh, deh.” Kayandhra menatap lamat-lamat gadis di sebelahnya itu.

Wajah Sherina benar-benar merah dibuatnya. Ia hanya bisa menunduk malu tanpa bisa menyembunyikan senyum manis dari wajahnya.

“Gue—untuk pertama kalinya gue bisa deg-degan setengah mati cuma buat bilang, ‘Sher, kantin bareng gue, yuk.’ Untuk pertama kalinya gue bisa telpon Ajid tengah malem cuma buat nanya, ‘Gue besok pake parfum apa ya? Mau jemput Sherina ke sekolah soalnya.’ Terus, Sher, ini yang paling gak pernah sih.”

Sherina mengerutkan dahinya bingung.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah gue setiap hari mandi 2 kali sehari.”

Tawa Sherina pecah mendengar kalimat terakhir dari Kayandhra. “Yang itu harus disebut juga, ya?”

Kayandhra ikut tertawa. “Iya, itu yang paling penting justru.”

“Lo tuh orang pertama yang buat gue ngerasain ini semua, Sher. Jadi kalau misal—jadi pacar yang pertama mau juga gak? Yang pertama dan terakhir sih kalo bisa,” lanjut Kay diiringi dengan tawa kecil di akhir.

Sherina sejak tadi tidak bisa banyak berbicara. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia salah tingkah sampai se-begininya.

“Mau gak, Sher?” tanya Kayandhra sekali lagi.

Malu-malu Sherina mengangguk.

“Beneran mau?” tanya Kayandhra girang masih tidak percaya.

“Iya mau…” jawab Sherina pelan.

“Serius?”

“Iya… Kay udah diem dong gue malu banget…” Sherina menutupi wajah merah padamnya itu dengan telapak tangan.

Kayandhra—ia senang bukan main dengan segala yang terjadi hari ini. Rasanya lega sekali. Senyum lebar tidak luntur dari wajahnya sejak tadi.

Sampai tiba-tiba—

TIIIIIIIIN suara klakson dari mobil di belakang.

Sudah tidak ada antrian di depan mereka rupanya. Siapa suruh, nembak di pom bensin.