040.
Sherina langsung pulang ke rumah begitu membaca pesan dari mamanya. Ditinggalkannya segala kesenangan yang ia temui dari melihat tumpukan buku tadi.
Sherina dan papanya—hubungan mereka tidak sebaik itu. Papanya yang selalu sibuk dengan 1001 urusan bisnisnya membuat mereka jarang bertemu.
Sekali pun mereka bertemu, momen itu sering kali tidak begitu menyenangkan bagi Sherina. Seperti saat ini contohnya.
Sherina sengaja memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari rumahnya. Ia juga lebih memilih untuk masuk ke rumah lewat pintu samping ketimbang melalui pintu utama. Para asisten rumah tangga di rumahnya sudah tidak heran dengan hal itu.
Semua itu ia lakukan dengan harapan papanya tidak akan dengan segera menyadari kehadirannya. Entah mengapa, sejak dulu Sherina memang selalu seperti itu. Meskipun ia tau kalau usahanya akan selalu sia-sia.
Saat Sherina hendak menginjakkan kakinya pada anak tangga pertama, papanya tiba-tiba saja muncul dari ruang makan diikuti dengan mamanya.
Suasana rumah mendadak terasa sangat mencekam bagi Sherina. Diliriknya sang mama yang masih berdiri di ruang makan. Mama hanya bisa tersenyum pahit sambil menggeleng pelan seakan berkata, mama gabisa apa-apa, Sher.
“Kenapa langsung naik? Duduk ruang tamu dulu. Papa mau ngobrol.” Intonasi dan ekspresi yang sangat dingin terpancar dari Janu, papa Sherina.
“I-iya, Pa.” diletakkannya asal tas yang tadi ia gunakan. Papanya yang menunggu di sofa tentu jauh lebih menyeramkan dibanding omelan mama kalau dirinya tidak meletakkan barang pada tempatnya.
Ditatapnya tajam manik mata anak semata wayangnya itu.
Sampai akhirnya, inti dari pertemuan mereka hari ini keluar dari mulut Janu.
“Jadi apa kamu sekarang?” Hanya itu. Hanya itu yang keluar dari mulut Janu setelah hampir 2 bulan tidak bertemu dengan anaknya.
Sherina hanya bisa menunduk. Tidak berani bahkan untuk sekedar menatap pria yang duduk di hadapannya ini. Pria yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
“Kenapa diem? Sekali lagi papa tanya. Jadi apa kamu?”
Janu—ia bukan orang yang akan marah-marah sambil berteriak. Dirinya yang selalu terlihat tenang dengan nada bicara datar justru terlihat jauh lebih menyeramkan dan mengintimidasi.
“Maaf, Pa,” ucap Sherina pelan, penuh dengan rasa bersalah.
“Kamu liat, Win? Anak mu ini gak jadi apa-apa.” Tangannya menunujuk-nunjuk Sherina diikuti dengan tatapan tajam ke arah Winda—yang sejak tadi tidak bergerak sedikit pun dari ruang makan.
Mata Janu kembali menatap lamat-lamat putrinya.
“Papa udah izinin kamu masuk teknik. Nyatanya sekarang kamu gak jadi apa-apa. Harusnya dari dulu kamu nurut. Bantu urus bisnis papa.” Janu berbicara dengan menekankan perkataannya kata demi kata, tanda ia benar-benar tidak suka dengan tindakan putrinya.
“Iya, ini salah papa. Salah papa. Harusnya dari awal papa paksa kamu. Daripada kayak sekarang. Malu-maluin keluarga,” lanjut Janu lagi diiringi dengan tawa penuh kekecewaan.
Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Sherina. Dia hanya bisa diam, tidak berani mengungkapkan apa-apa. Mati-matian iya berusaha membendung air matanya.
Dengan pandangan kabur, dilihatnya sang papa yang beranjak berdiri untuk kemudian merapikan barang bawaannya.
“Gausah nangis. Papa pergi.” Tanpa menunggu jawaban dari anak dan istrinya, Janu kembali pergi meninggalkan mereka berdua. Entah untuk urusan bisnis apalagi kali ini.
Winda akhirnya mendekati anaknya ketika suara mobil Janu sudah terdengar menjauh. Dipeluknya dengan penuh sayang anak satu-satunya itu.
Tangisan Sherina pecah di pundak Winda.
“Maafin mama ya, Sher. Maaf mama gak bisa belain kamu.”
Sherina menggeleng pelan. “Enggak, ini bukan salah mama. Maafin aku karena belum bisa buat mama dan papa bangga,” katanya lirih dengan suara serak.
“Jangan ngomong gitu. Dulu dan sekarang, mama selalu bangga punya kamu.”
Winda mengelus pelan rambut Sherina. “Kamu akan selalu jadi anak mama yang paling keren, sayang. Selalu.”
Sherina tertawa pelan. “Anak mama kan emang cuma aku.”
“Ohhh sekarang dia udah bisa ledekin mamanya lagi, ya?” Winda dengan senyum manis di wajahnya melepaskan pelukan mereka demi melihat wajah peri kecilnya itu.
Pada akhirnya mereka tertawa dan kembali memeluk satu sama lain seakan rasa kasih dan sayang hanya milik mereka berdua.
Ternyata benar, ya. Pelukan ibu itu memang obat yang paling baik.