sunnysiidez

Sherina langsung pulang ke rumah begitu membaca pesan dari mamanya. Ditinggalkannya segala kesenangan yang ia temui dari melihat tumpukan buku tadi.

Sherina dan papanya—hubungan mereka tidak sebaik itu. Papanya yang selalu sibuk dengan 1001 urusan bisnisnya membuat mereka jarang bertemu.

Sekali pun mereka bertemu, momen itu sering kali tidak begitu menyenangkan bagi Sherina. Seperti saat ini contohnya.

Sherina sengaja memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari rumahnya. Ia juga lebih memilih untuk masuk ke rumah lewat pintu samping ketimbang melalui pintu utama. Para asisten rumah tangga di rumahnya sudah tidak heran dengan hal itu.

Semua itu ia lakukan dengan harapan papanya tidak akan dengan segera menyadari kehadirannya. Entah mengapa, sejak dulu Sherina memang selalu seperti itu. Meskipun ia tau kalau usahanya akan selalu sia-sia.

Saat Sherina hendak menginjakkan kakinya pada anak tangga pertama, papanya tiba-tiba saja muncul dari ruang makan diikuti dengan mamanya.

Suasana rumah mendadak terasa sangat mencekam bagi Sherina. Diliriknya sang mama yang masih berdiri di ruang makan. Mama hanya bisa tersenyum pahit sambil menggeleng pelan seakan berkata, mama gabisa apa-apa, Sher.

“Kenapa langsung naik? Duduk ruang tamu dulu. Papa mau ngobrol.” Intonasi dan ekspresi yang sangat dingin terpancar dari Janu, papa Sherina.

“I-iya, Pa.” diletakkannya asal tas yang tadi ia gunakan. Papanya yang menunggu di sofa tentu jauh lebih menyeramkan dibanding omelan mama kalau dirinya tidak meletakkan barang pada tempatnya.

Ditatapnya tajam manik mata anak semata wayangnya itu.

Sampai akhirnya, inti dari pertemuan mereka hari ini keluar dari mulut Janu.

“Jadi apa kamu sekarang?” Hanya itu. Hanya itu yang keluar dari mulut Janu setelah hampir 2 bulan tidak bertemu dengan anaknya.

Sherina hanya bisa menunduk. Tidak berani bahkan untuk sekedar menatap pria yang duduk di hadapannya ini. Pria yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

“Kenapa diem? Sekali lagi papa tanya. Jadi apa kamu?”

Janu—ia bukan orang yang akan marah-marah sambil berteriak. Dirinya yang selalu terlihat tenang dengan nada bicara datar justru terlihat jauh lebih menyeramkan dan mengintimidasi.

“Maaf, Pa,” ucap Sherina pelan, penuh dengan rasa bersalah.

“Kamu liat, Win? Anak mu ini gak jadi apa-apa.” Tangannya menunujuk-nunjuk Sherina diikuti dengan tatapan tajam ke arah Winda—yang sejak tadi tidak bergerak sedikit pun dari ruang makan.

Mata Janu kembali menatap lamat-lamat putrinya.

“Papa udah izinin kamu masuk teknik. Nyatanya sekarang kamu gak jadi apa-apa. Harusnya dari dulu kamu nurut. Bantu urus bisnis papa.” Janu berbicara dengan menekankan perkataannya kata demi kata, tanda ia benar-benar tidak suka dengan tindakan putrinya.

“Iya, ini salah papa. Salah papa. Harusnya dari awal papa paksa kamu. Daripada kayak sekarang. Malu-maluin keluarga,” lanjut Janu lagi diiringi dengan tawa penuh kekecewaan.

Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Sherina. Dia hanya bisa diam, tidak berani mengungkapkan apa-apa. Mati-matian iya berusaha membendung air matanya.

Dengan pandangan kabur, dilihatnya sang papa yang beranjak berdiri untuk kemudian merapikan barang bawaannya.

“Gausah nangis. Papa pergi.” Tanpa menunggu jawaban dari anak dan istrinya, Janu kembali pergi meninggalkan mereka berdua. Entah untuk urusan bisnis apalagi kali ini.

Winda akhirnya mendekati anaknya ketika suara mobil Janu sudah terdengar menjauh. Dipeluknya dengan penuh sayang anak satu-satunya itu.

Tangisan Sherina pecah di pundak Winda.

“Maafin mama ya, Sher. Maaf mama gak bisa belain kamu.”

Sherina menggeleng pelan. “Enggak, ini bukan salah mama. Maafin aku karena belum bisa buat mama dan papa bangga,” katanya lirih dengan suara serak.

“Jangan ngomong gitu. Dulu dan sekarang, mama selalu bangga punya kamu.”

Winda mengelus pelan rambut Sherina. “Kamu akan selalu jadi anak mama yang paling keren, sayang. Selalu.”

Sherina tertawa pelan. “Anak mama kan emang cuma aku.”

“Ohhh sekarang dia udah bisa ledekin mamanya lagi, ya?” Winda dengan senyum manis di wajahnya melepaskan pelukan mereka demi melihat wajah peri kecilnya itu.

Pada akhirnya mereka tertawa dan kembali memeluk satu sama lain seakan rasa kasih dan sayang hanya milik mereka berdua.

Ternyata benar, ya. Pelukan ibu itu memang obat yang paling baik.

10 Agustus 2015

Pengumuman kepada seluruh siswa kelas 10-12 harap segera berkumpul di lapangan sebelum pukul 7.

Pengumuman yang disampaikan wakil kepala sekolah terdengar ke seluruh penjuru bangunan melalui pengeras suara. Hampir seluruh warga sekolah terkejut dibuatnya karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya.

Upacara dadakan seperti ini biasanya memang sengaja diadakan sebagai upaya pengecekan atribut karena sekolah Sherina memang tidak tiap minggu melaksanakan upacara. Itu pula penyebab murid di sana sering kali tidak memakai atribut lengkap.

Tidak terkecuali Sherina.

“Mampus gue gak bawa topi.” Sherina memukul meja ketika mendengar pengumuman itu.

Kinara yang duduk di sebelahnya juga ikut panik. Ia langsung mengecek tas miliknya. Untung saja ada topi di dalam sana, tetapi sayangnya hanya ada satu.

“Yah, gue juga cuma bawa satu. Lu bukannya suka nyimpen satu di loker ya, Sher?”

“Itu dia. Pas sebelum libur sempet gue pake karena begini juga. Bodohnya kenapa malah gue bawa pulang anjir bukannya balikin loker.” Sherina menjatuhkan kepalanya di meja—putus asa.

“Ah, tapi gue gamau disuruh maju ke depan cuma gara-gara ginian elah. Ogahhh!!” rutuknya lagi.

“Eh bentar dulu. Gue tanya Jidan. Siapa tau dia atau temennya ada yang bawa dua.”

“Ide lu bagus kalo bukan nanya ke Jidan. Mana mungkin orang kayak dia bawa,” sahut Sherina.

Sambungan telepon terhubung.

“Halo, Kin, kenapa?” Suara Zidane disertai latar bising terdengar dari seberang sana.

Sepertinya Zidane sudah bergabung dengan lautan siswa di lantai bawah. Sekarang memang sudah pukul 06.50, di kelas Sherina pun hanya tinggal dirinya dan Kinara yang belum turun.

“Lu atau temen lu ada yang bawa topi dua gak?” tanya Kinara tanpa basa-basi.

“Yah, Kin, gua satu aja gak bawa, apalagi dua. Ini aja gua sama temen gua lagi siap-siap manjat pager mau ke warung sebelah,” jawab Zidane santai sambil cengengesan.

“Tuh kan apa kata gue. Lu berharap apa dari dia,” sahut Sherina sinis.

“Eh tapi ini gua tanyain temen gua dulu deh, ya. Siapa tau ada yang bawa. Lu berdua turun dulu aja daripada diamuk Budi. Kalo ada nanti gua chat Kinara.” Budi itu nama kepala sekolah mereka...


Kini mereka sudah masuk ke barisan. Sherina dan Kinara sengaja memilih berdiri di belakang lantas belum ada kejelasan dari Zidane mengenai topi.

Upacara hampir dimulai. Pak Budi selaku kepala sekolah sudah terlihat memasuki lapangan.

Di tengah heningnya lapangan pagi itu, Kinara, masih dengan ponsel di salah satu tangannya menepuk-nepuk pundak Sherina pelan dari belakang. “Kata Jidan temennya ternyata ada yang bawa. Tapi karena mereka mau bolos, jadi dipinjemin ke lu aja. Lagi jalan kesini anaknya.”

Sherina hanya mengangguk menanggapi itu. Sebenarnya dalam hati ia sangat senang, tapi kan tidak lucu kalau dia dipanggil ke depan hanya karena dituduh mengobrol. Ditambah lagi dia tidak memakai topi. Lengkap sudah penderitaan dia pagi ini kalau sampai terjadi.

Pukul 06.58, seorang laki-laki—yang Sherina yakini adalah teman Zidane—diam-diam masuk ke barisan kelasnya.

“Nih,” kata laki-laki itu saat dirinya berada tepat di sebelah Sherina. Dia menyodorkan topi miliknya dengan tatapan lurus ke depan, tanpa menatap Sherina sedikit pun.

“Gue duluan ya. Mau cabut,” ucapnya lagi sesaat setelah Sherina menerima topi itu.

Belum sempat Sherina ber-terima kasih, laki-laki itu sudah terlanjur membalikkan badannya dan meninggalkan barisan. Sherina bahkan belum melihat dengan jelas wajah laki-laki itu.

#000.

Kamu pasti pernah menyukai seseorang. Dan diantara sekian banyaknya manusia yang pernah kamu suka, akan selalu ada satu orang yang sebagaimana pun kamu berusaha melupakan, bayang-bayang tentangnya akan selalu ada. Yang bahkan setelah sekian banyaknya orang yang kamu temui, kamu selalu punya tempat untuknya—jauh di dalam sana.

Kayandhra Mahavir.

Untukku orang itu adalah dia. Tak peduli berapa lama aku tak bertemu dengannya, bayangan akannya selalu ada menyelimuti. Aku bahkan tidak tau bagaimana kabarnya sekarang, di mana dia tinggal, atau dengan siapa ia menjalin hubungan.

Satu-satunya hal yang aku tau tentangnya, hanya seberapa sukses dirinya sekarang—dengan jutaan pengikut instagram dan banyaknya job mengantri—dan potongan kecil dari hidupnya yang ia bagikan lewat media sosial, juga cerita-cerita singkat dari teman dekatnya semasa SMA, Zidane dan Sagara.

Kisahku dengan Kayandhra sudah lama berakhir.

4 tahun yang lalu.

Prom night, malam perpisahan terakhir bagi siswa-siswi kelas 12. Di malam itu pula kami berpisah. Aku ingat sekali, waktu itu dia menjemputku di rumah dengan sedan hitam miliknya. Lengkap dengan setelan jas berwarna hitam. Ia terlihat sangat tampan. Aku dan senyum lebar yang terlukis di wajahku berangkat bersama dengannya. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikiran ku, kalau malam itu, aku akan pulang ke rumah dengan rasa sesak di dada dan air mata yang berderai.

4 tahun bukan waktu yang sebentar. Aku pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain dalam rentang waktu itu. 2 kali. Bahkan setelah itu, ingatan akan Kayandhra tidak pernah benar-benar hilang. Tidak, aku tidak se-brengsek itu untuk menjalin hubungan dengan orang lain di kala aku belum selesai dengan masa laluku. Waktu itu, aku kira aku sudah berhasil melupakan dia. Tapi ternyata, ketika hubunganku tidak berjalan dengan baik, dirinya lah yang kembali menghantui pikiranku.

Setelah sekian banyaknya waktu yang aku habiskan tanpanya, aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Entah tidak mungkin, atau tidak bisa.

— Sherina Aileen, 2021

Kamu pasti pernah menyukai seseorang. Dan diantara sekian banyaknya manusia yang pernah kamu suka, akan selalu ada satu orang yang sebagaimana pun kamu berusaha melupakan, bayang-bayang tentangnya akan selalu ada. Yang bahkan setelah sekian banyaknya orang yang kamu temui, kamu selalu punya tempat untuknya—jauh di dalam sana.

Kayandhra Mahavir.

Untukku orang itu adalah dia. Tak peduli berapa lama aku tak bertemu dengannya, bayangan akannya selalu ada menyelimuti. Aku bahkan tidak tau bagaimana kabarnya sekarang, di mana dia tinggal, atau dengan siapa ia menjalin hubungan.

Satu-satunya hal yang aku tau tentangnya, hanya seberapa sukses dirinya sekarang—dengan jutaan pengikut instagram dan banyaknya job mengantri—dan potongan kecil dari hidupnya yang ia bagikan lewat media sosial, juga cerita-cerita singkat dari teman dekatnya semasa SMA, Zidane dan Sagara.

Kisahku dengan Kayandhra sudah lama berakhir.

4 tahun yang lalu.

Prom night, malam perpisahan terakhir bagi siswa-siswi kelas 12. Di malam itu pula kami berpisah. Aku ingat sekali, waktu itu dia menjemputku di rumah dengan sedan hitam miliknya. Lengkap dengan setelan jas berwarna hitam. Ia terlihat sangat tampan. Aku dan senyum lebar yang terlukis di wajahku berangkat bersama dengannya. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikiran ku, kalau malam itu, aku akan pulang ke rumah dengan rasa sesak di dada dan air mata yang berderai.

4 tahun bukan waktu yang sebentar. Aku pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain dalam rentang waktu itu. 2 kali. Bahkan setelah itu, ingatan akan Kayandhra tidak pernah benar-benar hilang. Tidak, aku tidak se-brengsek itu untuk menjalin hubungan dengan orang lain di kala aku belum selesai dengan masa laluku. Waktu itu, aku kira aku sudah berhasil melupakan dia. Tapi ternyata, ketika hubunganku tidak berjalan dengan baik, dirinya lah yang kembali menghantui pikiranku.

Setelah sekian banyaknya waktu yang aku habiskan tanpanya, aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Entah tidak mungkin, atau tidak bisa.

— Sherina Aileen, 2021

Kamu pasti pernah menyukai seseorang. Dan diantara sekian banyaknya manusia yang pernah kamu suka, akan selalu ada satu orang yang sebagaimana pun kamu berusaha melupakan, bayang-bayang tentangnya akan selalu ada. Yang bahkan setelah sekian banyaknya orang yang kamu temui, kamu selalu punya tempat untuknya—jauh di dalam sana.

Kayandhra Mahavir.

Untukku orang itu adalah dia. Tak peduli berapa lama aku tak bertemu dengannya, bayangan akannya selalu ada menyelimuti. Aku bahkan tidak tau bagaimana kabarnya sekarang, di mana dia tinggal, atau dengan siapa ia menjalin hubungan.

Satu-satunya hal yang aku tau tentangnya, hanya seberapa sukses dirinya sekarang—dengan jutaan pengikut instagram dan banyaknya job mengantri—dan potongan kecil dari hidupnya yang ia bagikan lewat media sosial, juga cerita-cerita singkat dari teman dekatnya semasa SMA, Zidane dan Sagara.

Kisahku dengan Kayandhra sudah lama berakhir.

4 tahun yang lalu.

Prom night, malam perpisahan terakhir bagi siswa-siswi kelas 12. Di malam itu pula kami berpisah. Aku ingat sekali, waktu itu dia menjemputku di rumah dengan sedan hitam miliknya. Lengkap dengan setelan jas berwarna hitam. Ia terlihat sangat tampan. Aku dan senyum lebar yang terlukis di wajahku berangkat bersama dengannya. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikiran ku, kalau malam itu, aku akan pulang ke rumah dengan rasa sesak di dada dan air mata yang berderai.

4 tahun bukan waktu yang sebentar. Aku pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain dalam rentang waktu itu. 2 kali. Bahkan setelah itu, ingatan akan Kayandhra tidak pernah benar-benar hilang. Tidak, aku tidak se-brengsek itu untuk menjalin hubungan dengan orang lain di kala aku belum selesai dengan masa laluku. Waktu itu, aku kira aku sudah berhasil melupakan dia. Tapi ternyata, ketika hubunganku tidak berjalan dengan baik, dirinya lah yang kembali menghantui pikiranku.

Setelah sekian banyaknya waktu yang aku habiskan tanpanya, aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Entah tidak mungkin, atau tidak bisa.

— Sherina Aileen, 2021

Acara hari ini berjalan dengan baik dan cukup menyenangkan. Mereka tiba di sini pada pukul 9 pagi tadi. Begitu sampai, mereka disuguhkan dengan welcome drink dan diberi waktu untuk istirahat serta merapikan barang-barang selama satu jam.

Sejak pukul 10 sampai saat ini, tepatnya pukul 9 malam, tidak henti-hentinya mereka melakukan berbagai kegiatan. Memang terdengar melelahkan, tapi sebenarnya acara ini jauh lebih seru dari yang dibayangkan

Mereka menerima materi mengenai kepemimpinan dan pengambilan keputusan dari salah satu pembicara ternama selama 2 jam. Sesudahnya, mereka bermain berbagai jenis games dan kegiatan lainnya sesuai rundown yang telah dibuat.

Tidak ada kakak OSIS yang senioritas dan marah-marah seperti yang sebagian besar dari mereka takutkan. Sebaliknya, para kakak kelas yang satu tahun lebih tua itu justru turut larut dalam serunya permainan sore tadi.

Meski begitu, tentu saja tetap ada beberapa anggota OSIS yang memang sengaja menampilkan wajah jutek, seperti Dirga dan Kaina misalnya. Mereka berdua itu ketua dan wakil ketua OSIS SMA Adiwarna periode 2020-2021.

Saat ini, Ghea, Nina, dan teman-temannya yang lain sedang bersiap untuk tidur. Mereka memang sedang berada di tempat perkemahan, tapi entah kenapa mereka tidak tidur di dalam tenda. Mereka tidur di aula besar yang ada di sana.

“Akhirnya selesaiiii,” ucap Nina setengah berteriak sambil membaringkan tubuhnya.

Semua orang yang ada di sana sedang sibuk menggelar sleeping bag masing-masing dan memposisikan dirinya agar bisa tidur dengan nyaman. Saat masih membereskan ini dan itu, Keyla yang berada di sebelah Ghea bersuara, “Gue denger-denger biasanya ada jurit malam tau.”

Ghea dan Nina, juga beberapa anak lainnya yang berada di sekitar Keyla terkejut. “Seriusan Key?” tanya Syifa yang dibalas anggukan heboh oleh Keyla.

“Serius. Waktu taun kakak gue juga ada. Gatau ya tapi taun ini kita ada juga apa gak,” lanjut Keyla.

Kaina yang sejak pagi tadi berwajah kurang menyenangkan kini tampil jauh lebih ramah dan bergabung dengan anak-anak kelas 11 yang lagi asik ngerumpi. “Ngobrolin apasih, asik banget kayaknya,” kata Kaina yang diiringi dengan kekehan pelan.

“Kak, emang bener ya bakal ada jurit malam?” tanya Nadia tanpa basa-basi. Mendengar itu, Mayca yang dari tadi asik bermain dengan ponselnya ikut bergabung dengan mereka, “Waduh, kalo itu rahasia negara dong. Gak boleh spoiler,” katanya.

“Kak, biasanya kalo gitu berarti beneran ada,” sahut Keyla sambil tertawa yang berhasil membuat orang lain di sana ikut tertawa.

“Hahaha aduh. Tungguin aja deh, ya. Kalo beneran ada ya nanti kalian dibangunin. Udah, sekarang tidur dulu aja. Udah malem,” kata Kaina sambil berjalan meninggalkan kerumunan anak kelas 11 itu bersama Mayca.

Acara hari ini berjalan dengan baik dan cukup menyenangkan. Mereka tiba di sini pada pukul 9 pagi tadi. Begitu sampai, mereka disuguhkan dengan welcome drink dan diberi waktu untuk istirahat serta merapikan barang-barang selama satu jam.

Sejak pukul 10 sampai saat ini, tepatnya pukul 9 malam, tidak henti-hentinya mereka melakukan berbagai kegiatan. Memang terdengar melelahkan, tapi sebenarnya acara ini jauh lebih seru dari yang dibayangkan

Mereka menerima materi mengenai kepemimpinan dan pengambilan keputusan dari salah satu pembicara ternama selama 2 jam. Sesudahnya, mereka bermain berbagai jenis games dan kegiatan lainnya sesuai rundown yang telah dibuat.

Tidak ada kakak OSIS yang senioritas dan marah-marah seperti yang sebagian besar dari mereka takutkan. Sebaliknya, para kakak kelas yang satu tahun lebih tua itu justru turut larut dalam serunya permainan sore tadi.

Meski begitu, tentu saja tetap ada beberapa anggota OSIS yang memang sengaja menampilkan wajah jutek, seperti Dirga dan Kaina misalnya. Mereka berdua itu ketua dan wakil ketua OSIS SMA Adiwarna periode 2020-2021.

Saat ini, Ghea, Nina, dan teman-temannya yang lain sedang bersiap untuk tidur. Mereka memang sedang berada di tempat perkemahan, tapi entah kenapa mereka tidak tidur di dalam tenda. Mereka tidur di aula besar yang ada di sana.

“Akhirnya selesaiiii,” ucap Nina setengah berteriak sambil membaringkan tubuhnya.

Semua orang yang ada di sana sedang sibuk menggelar sleeping bag masing-masing dan memposisikan dirinya agar bisa tidur dengan nyaman. Saat masih membereskan ini dan itu, Keyla yang berada di sebelah Ghea bersuara, “Gue denger-denger biasanya ada jurit malam tau.”

Ghea dan Nina, juga beberapa anak lainnya yang berada di sekitar Keyla terkejut. “Seriusan Key?” tanya Syifa yang dibalas anggukan heboh oleh Keyla.

“Serius. Waktu taun kakak gue juga ada. Gatau ya tapi taun ini kita ada juga apa gak,” lanjut Keyla.

Kaina yang sejak pagi tadi berwajah kurang menyenangkan kini tampil jauh lebih ramah dan bergabung dengan anak-anak kelas 11 yang lagi asik ngerumpi. “Ngobrolin apasih, asik banget kayaknya,” kata Kaina yang diiringi dengan kekehan pelan.

“Kak, emang bener ya bakal ada jurit malam?” tanya Nadia tanpa basa-basi. Mendengar itu, Mayca yang dari tadi asik bermain dengan ponselnya ikut bergabung dengan mereka, “Waduh, kalo itu rahasia negara dong. Gak boleh spoiler,” katanya.

“Kak, biasanya kalo gitu berarti beneran ada,” sahut Keyla sambil tertawa yang berhasil membuat orang lain di sana ikut tertawa.

“Hahaha aduh. Tungguin aja deh, ya. Kalo beneran ada ya nanti kalian dibangunin. Udah, sekarang tidur dulu aja. Udah malem,” kata Kaina sambil berjalan meninggalkan kerumunan anak kelas 11 itu bersama Mayca.

#2

Ghea sedang lelap-lelapnya tertidur ketika ia mendengar suara gaduh dari luar aula.

Suara bohlam yang diketuk bersahut-sahutan menghasilkan suara yang luar biasa nyaring. Terdengar pula suara Danendra berteriak, “BANGUNNNN” diiringi oleh suara gendang yang datang entah dari mana.

Ghea sayup-sayup membuka matanya perlahan. Dilihat olehnya teman-teman di sekitarnya juga sedang berusaha keras melawan kantuk.

Ghea mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di samping bantal kecil yang sedari tadi ia gunakan untuk tidur.

Pukul 2 pagi.

Anjir, ini mah beneran jurit malam, batinnya dalam hati.

“Ayo dek bangun, itu kakaknya udah pada nungguin di depan!” teriak Kaina lumayan keras dari arah pintu aula. Ghea dan teman-teman seangkatannya langsung terkejut dan buru-buru berlari ke luar.

“Ayo cepet semuanya baris. 1 baris laki-laki dan 1 baris perempuan!” perintah Dirga dengan suara lantang meski tanpa pengeras suara. Mereka semua segera membentuk barisan. Posisi Ghea dan Nina saat ini, Ghea berada persis di depan Nina.

“Sekarang semuanya ikut saya,” kali ini giliran Heksa yang berbicara. “Kalian mulai jalan dari sini. Ikutin arah jalan aja. Jalannya berempat, 2 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Sesuai barisan. Paham gak dek?”

“Siap, paham kak!” seru siswa dan siswi kelas 11.

Ghea dan Nina panik-panik cemas kalau saja mereka tidak akan berjalan bersama. Ghea dan Nina bolak-balik menghitung jumlah orang yang ada di depan mereka, berharap hitungan itu salah. Karena jika benar, maka mereka tak akan ada di kelompok yang sama.

Kelompok terakhir sebelum kelompok Ghea sudah mulai berjalan. Benar saja, Ghea dan Nina terpaksa harus berpisah. Ada 1 orang di depan Ghea, Nadia. Sedangkan 2 laki-laki yang juga akan berjalan bersama dengannya, ia tidak menyadari siapa mereka. Pandangannya terhalang oleh gelapnya malam itu.

Kini giliran kelompok Ghea memulai perjalanan. Mereka perlahan berjalan menjauhi tempat awal tadi. Ghea membalikkan badannya sebentar ke belakang. Tempat awal tadi benar-benar sudah tidak terlihat, digantikan dengan gelap gulita tanpa seberkas pun cahaya.

“Ngapain liat belakang? cepet jalan,” kata laki-laki yang ada di sebelah Ghea.

Setiap kelompok hanya diberi 2 senter, dan dalam kondisi saat ini, Nadia berbagi dengan laki-laki yang Ghea yakini adalah Malvin. Untuk dirinya sendiri, ia tentunya berbagi senter dengan entah siapa laki-laki yang tidak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya ini.

Namun nampaknya hari itu nasib Ghea memang sedang tidak terlalu baik. Tanpa sadar, karena dirinya yang berhenti sejenak, Ghea kehilangan Nadia dan Malvin yang tadi ada di depannya. Mereka berdua tertinggal.

“Gimana dong ini?” tanya Ghea sedikit panik.

“Ya mau gimana lagi. Gua kan nungguin lu. Udah cepet ayo jalan,” jawab laki-laki itu.

“M-maaf.”

Sejak berjalan 5 menit yang lalu, Ghea belum menemukan tanda-tanda menyeramkan khas jurit malam.

Tapi kayaknya Ghea emang lagi apes. Tanpa disadarinya, ia menyandung tali jebakan yang ada di tanah.

Sesuatu berbentuk bulat dibalut kain berwarna putih terjatuh dari pohon yang ada di sebelah kiri. Ghea kaget bukan main sampai-sampai nyaris terpeleset. Untung, laki-laki di sebelahnya itu sempat menahan tangan Ghea sehingga tidak jatuh.

Sebenarnya Ghea tidak takut akan hal-hal yang berkaitan dengan hantu. Ia juga sadar betul kalau tadi itu hanyalah guling. Tapi kalau posisinya kayak tadi, siapa sih yang gak kaget.

Setelah degup jantungnya kembali normal, mereka berdua melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu Ghea habiskan ditemani dengan suara-suara menyeramkan yang diputar panitia, juga beberapa poster film horor yang ditempel di pohon-pohon. Tidak ada yang membuat Ghea takut sejauh ini.

Menilik dari waktu perjalanan yang telah dihabiskan, sepertinya perjalanan ini akan segera berakhir.

Hening tercipta sejak tadi di antara dua manusia itu, sampai, “Jalannya licin.”

“Iya. Makanya pelan-pelan aja,” jawab Ghea.

Laki-laki itu mengambil satu langkah ke depan dan mengulurkan tangganya, “Pegang.”

“Hah?” Ghea bingung.

“Pegang aja, nanti lu jatoh. Tadi ga licin aja hampir kepeleset. Gimana ini.”

Ragu-ragu Ghea menerima uluran tangan itu. Apa yang dikatakan ada benarnya. Bagaimana kalau kejadi seperti tadi terulang kembali? Dengan jalanan selicin ini, dapat dipastikan Ghea akan terjatuh.

Ghea berjalan dengan hati-hati masih sambil terus menggenggam tangan itu.

Sampai pada akhirnya, terlihat cahaya terang di ujung sana, tanda jurit malam telah berakhir. Dan ternyata pula, sepanjang sisa perjalanan yang tidak terlalu panjang tadi, tidak ada sesuatu yang membuat Ghea kaget. Meski begitu, tangan itu tetap membantu Ghea ketika beberapa kali jalan terasa lebih licin dibanding yang lain.

Ghea sedikit terkejut ketika tiba di sana dan melihat Nina sudah sampai lebih dulu. Juga beberapa orang yang tadi berjalan setelah dirinya.

“Kok lu bisa selesai duluan?” tanya Ghea heran.

Nina tertawa pelan, “Tadi tuh ada percabangan kanan kiri gitu kan ya.” Ghea mengangguk menanggapi. “Nah, ternyata yang kiri tuh lebih pendek jalannya. Lu pasti pilih kanan, ya. Hahahaha.”

Di tengah percakapan itu, “Ghe, lu pacaran sama Adelio?” tanya Keyla yang baru saja menyelesaikan perjalanannya.

Ghea mengerutkan alisnya, “Hah? Ya engga, lah. Gue aja ga pernah ngobrol sama dia.”

“Lah itu?” mata Keyla melirik sekilas ke arah tangan kanan milik Ghea.

Ghea mengikuti ke mana pandangan Keyla mengarah.

Ghea terlalu sibuk berbicara dengan Nina, sampai-sampai ia tidak sadar, tangan yang sedari tadi digenggamnya belum terlepas. Ia juga kaget setelah mengetahui fakta bahwa tangan itu adalah milik Adelio.

Ghea yang kaget buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Adelio, orang yang ternyata berjalan beriringan dengan Ghea, ia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi.

“Kok lu gak bilang apa-apa sih?” tanya Ghea panik.

“Soalnya lu keasikan ngobrol. Gue bingung ngomongnya gimana,” jawab Adelio santai.

“Hahhh ha ha ha ha,” tawa Ghea canggung.

“Gue duluan ya. Ayo Key, Nin,” dengan wajah yang merah padam karena malu Ghea menarik tangan kedua temannya dan kemudian berlari meninggalkan Adelio di belakang sana.

Adelio di sana, dia diam berdiri dan tertawa puas melihat tingkah panik Ghea.

Ghea sedang lelap-lelapnya tertidur ketika ia mendengar suara gaduh dari luar aula.

Suara bohlam yang diketuk bersahut-sahutan menghasilkan suara yang luar biasa nyaring. Terdengar pula suara Danendra berteriak, “BANGUNNNN” diiringi oleh suara gendang yang datang entah dari mana.

Ghea sayup-sayup membuka matanya perlahan. Dilihat olehnya teman-teman di sekitarnya juga sedang berusaha keras melawan kantuk.

Ghea mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di samping bantal kecil yang sedari tadi ia gunakan untuk tidur.

Pukul 2 pagi.

Anjir, ini mah beneran jurit malam, batinnya dalam hati.

“Ayo dek bangun, itu kakaknya udah pada nungguin di depan!” teriak Kaina lumayan keras dari arah pintu aula. Ghea dan teman-teman seangkatannya langsung terkejut dan buru-buru berlari ke luar.

“Ayo cepet semuanya baris. 1 baris laki-laki dan 1 baris perempuan!” perintah Dirga dengan suara lantang meski tanpa pengeras suara. Mereka semua segera membentuk barisan. Posisi Ghea dan Nina saat ini, Ghea berada persis di depan Nina.

“Sekarang semuanya ikut saya,” kali ini giliran Heksa yang berbicara. “Kalian mulai jalan dari sini. Ikutin arah jalan aja. Jalannya berempat, 2 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Sesuai barisan. Paham gak dek?”

“Siap, paham kak!” seru siswa dan siswi kelas 11.

Ghea dan Nina panik-panik cemas kalau saja mereka tidak akan berjalan bersama. Ghea dan Nina bolak-balik menghitung jumlah orang yang ada di depan mereka, berharap hitungan itu salah. Karena jika benar, maka mereka tak akan ada di kelompok yang sama.

Kelompok terakhir sebelum kelompok Ghea sudah mulai berjalan. Benar saja, Ghea dan Nina terpaksa harus berpisah. Ada 1 orang di depan Ghea, Nadia. Sedangkan 2 laki-laki yang juga akan berjalan bersama dengannya, ia tidak menyadari siapa mereka. Pandangannya terhalang oleh gelapnya malam itu.

Kini giliran kelompok Ghea memulai perjalanan. Mereka perlahan berjalan menjauhi tempat awal tadi. Ghea membalikkan badannya sebentar ke belakang. Tempat awal tadi benar-benar sudah tidak terlihat, digantikan dengan gelap gulita tanpa seberkas pun cahaya.

“Ngapain liat belakang? cepet jalan,” kata laki-laki yang ada di sebelah Ghea.

Setiap kelompok hanya diberi 2 senter, dan dalam kondisi saat ini, Nadia berbagi dengan laki-laki yang Ghea yakini adalah Malvin. Untuk dirinya sendiri, ia tentunya berbagi senter dengan entah siapa laki-laki yang tidak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya ini.

Namun nampaknya hari itu nasib Ghea memang sedang tidak terlalu baik. Tanpa sadar, karena dirinya yang berhenti sejenak, Ghea kehilangan Nadia dan Malvin yang tadi ada di depannya. Mereka berdua tertinggal.

“Gimana dong ini?” tanya Ghea sedikit panik.

“Ya mau gimana lagi. Gua kan nungguin lu. Udah cepet ayo jalan,” jawab laki-laki itu.

“M-maaf.”

Sejak berjalan 5 menit yang lalu, Ghea belum menemukan tanda-tanda menyeramkan khas jurit malam.

Tapi kayaknya Ghea emang lagi apes. Tanpa disadarinya, ia menyandung tali jebakan yang ada di tanah.

Sesuatu berbentuk bulat dibalut kain berwarna putih terjatuh dari pohon yang ada di sebelah kiri. Ghea kaget bukan main sampai-sampai nyaris terpeleset. Untung, laki-laki di sebelahnya itu sempat menahan tangan Ghea sehingga tidak jatuh.

Sebenarnya Ghea tidak takut akan hal-hal yang berkaitan dengan hantu. Ia juga sadar betul kalau tadi itu hanyalah guling. Tapi kalau posisinya kayak tadi, siapa sih yang gak kaget.

Setelah degup jantungnya kembali normal, mereka berdua melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu Ghea habiskan ditemani dengan suara-suara menyeramkan yang diputar panitia, juga beberapa poster film horor yang ditempel di pohon-pohon. Tidak ada yang membuat Ghea takut sejauh ini.

Menilik dari waktu perjalanan yang telah dihabiskan, sepertinya perjalanan ini akan segera berakhir.

Hening tercipta sejak tadi di antara dua manusia itu, sampai, “Jalannya licin.”

“Iya. Makanya pelan-pelan aja,” jawab Ghea.

Laki-laki itu mengambil satu langkah ke depan dan mengulurkan tangganya, “Pegang.”

“Hah?” Ghea bingung.

“Pegang aja, nanti lu jatoh. Tadi ga licin aja hampir kepeleset. Gimana ini.”

Ragu-ragu Ghea menerima uluran tangan itu. Apa yang dikatakan ada benarnya. Bagaimana kalau kejadi seperti tadi terulang kembali? Dengan jalanan selicin ini, dapat dipastikan Ghea akan terjatuh.

Ghea berjalan dengan hati-hati masih sambil terus menggenggam tangan itu.

Sampai pada akhirnya, terlihat cahaya terang di ujung sana, tanda jurit malam telah berakhir. Dan ternyata pula, sepanjang sisa perjalanan yang tidak terlalu panjang tadi, tidak ada sesuatu yang membuat Ghea kaget. Meski begitu, tangan itu tetap membantu Ghea ketika beberapa kali jalan terasa lebih licin dibanding yang lain.

Ghea sedikit terkejut ketika tiba di sana dan melihat Nina sudah sampai lebih dulu. Juga beberapa orang yang tadi berjalan setelah dirinya.

“Kok lu bisa selesai duluan?” tanya Ghea heran.

Nina tertawa pelan, “Tadi tuh ada percabangan kanan kiri gitu kan ya.” Ghea mengangguk menanggapi. “Nah, ternyata yang kiri tuh lebih pendek jalannya. Lu pasti pilih kanan, ya. Hahahaha.”

Di tengah percakapan itu, “Ghe, lu pacaran sama Adelio?” tanya Keyla yang baru saja menyelesaikan perjalanannya.

Ghea mengerutkan alisnya, “Hah? Ya engga, lah. Gue aja ga pernah ngobrol sama dia.”

“Lah itu?” mata Keyla melirik sekilas ke arah tangan kanan milik Ghea.

Ghea mengikuti ke mana pandangan Keyla mengarah.

Ghea terlalu sibuk berbicara dengan Nina, sampai-sampai ia tidak sadar, tangan yang sedari tadi digenggamnya belum terlepas. Ia juga kaget setelah mengetahui fakta bahwa tangan itu adalah milik Adelio.

Ghea yang kaget buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Adelio, orang yang ternyata berjalan beriringan dengan Ghea, ia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi.

“Kok lu gak bilang apa-apa sih?” tanya Ghea panik.

“Soalnya lu keasikan ngobrol. Gue bingung ngomongnya gimana,” jawab Adelio santai.

“Hahhh ha ha ha ha,” tawa Ghea canggung.

“Gue duluan ya. Ayo Key, Nin,” dengan wajah yang merah padam karena malu Ghea menarik tangan kedua temannya dan kemudian berlari meninggalkan Adelio di belakang sana.

Adelio di sana, dia diam berdiri dan tertawa puas melihat tingkah panik Ghea.

Ghea sedang lelap-lelapnya tertidur ketika ia mendengar suara gaduh dari luar aula.

Suara bohlam yang diketuk bersahut-sahutan menghasilkan suara yang luar biasa nyaring. Terdengar pula suara Danendra berteriak, “BANGUNNNN” diiringi oleh suara gendang yang datang entah dari mana.

Ghea sayup-sayup membuka matanya perlahan. Dilihat olehnya teman-teman di sekitarnya juga sedang berusaha keras melawan kantuk.

Ghea mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di samping bantal kecil yang sedari tadi ia gunakan untuk tidur.

Pukul 2 pagi.

Anjir, ini mah beneran jurit malam, batinnya dalam hati.

“Ayo dek bangun, itu kakaknya udah pada nungguin di depan!” teriak Kaina lumayan keras dari arah pintu aula. Ghea dan teman-teman seangkatannya langsung terkejut dan buru-buru berlari ke luar.

“Ayo cepet semuanya baris. 1 baris laki-laki dan 1 baris perempuan!” perintah Dirga dengan suara lantang meski tanpa pengeras suara. Mereka semua segera membentuk barisan. Posisi Ghea dan Nina saat ini, Ghea berada persis di depan Nina.

“Sekarang semuanya ikut saya,” kali ini giliran Heksa yang berbicara. “Kalian mulai jalan dari sini. Ikutin arah jalan aja. Jalannya berempat, 2 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Sesuai barisan. Paham gak dek?”

“Siap, paham kak!” seru siswa dan siswi kelas 11.

Ghea dan Nina panik-panik cemas kalau saja mereka tidak akan berjalan bersama. Ghea dan Nina bolak-balik menghitung jumlah orang yang ada di depan mereka, berharap hitungan itu salah. Karena jika benar, maka mereka tak akan ada di kelompok yang sama.

Kelompok terakhir sebelum kelompok Ghea sudah mulai berjalan. Benar saja, Ghea dan Nina terpaksa harus berpisah. Ada 1 orang di depan Ghea, Nadia. Sedangkan 2 laki-laki yang juga akan berjalan bersama dengannya, ia tidak menyadari siapa mereka. Pandangannya terhalang oleh gelapnya malam itu.

Kini giliran kelompok Ghea memulai perjalanan. Mereka perlahan berjalan menjauhi tempat awal tadi. Ghea membalikkan badannya sebentar ke belakang. Tempat awal tadi benar-benar sudah tidak terlihat, digantikan dengan gelap gulita tanpa seberkas pun cahaya.

“Ngapain liat belakang? cepet jalan,” kata laki-laki yang ada di sebelah Ghea.

Setiap kelompok hanya diberi 2 senter, dan dalam kondisi saat ini, Nadia berbagi dengan laki-laki yang Ghea yakini adalah Malvin. Untuk dirinya sendiri, ia tentunya berbagi senter dengan entah siapa laki-laki yang tidak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya ini.

Namun nampaknya hari itu nasib Ghea memang sedang tidak terlalu baik. Tanpa sadar, karena dirinya yang berhenti sejenak, Ghea kehilangan Nadia dan Malvin yang tadi ada di depannya. Mereka berdua tertinggal.

“Gimana dong ini?” tanya Ghea sedikit panik.

“Ya mau gimana lagi. Gua kan nungguin lu. Udah cepet ayo jalan,” jawab laki-laki itu.

“M-maaf.”

Sejak berjalan 5 menit yang lalu, Ghea belum menemukan tanda-tanda menyeramkan khas jurit malam.

Tapi kayaknya Ghea emang lagi apes. Tanpa disadarinya, ia menyandung tali jebakan yang ada di tanah.

Sesuatu berbentuk bulat dibalut kain berwarna putih terjatuh dari pohon yang ada di sebelah kiri. Ghea kaget bukan main sampai-sampai nyaris terpeleset. Untung, laki-laki di sebelahnya itu sempat menahan tangan Ghea sehingga tidak jatuh.

Sebenarnya Ghea tidak takut akan hal-hal yang berkaitan dengan hantu. Ia juga sadar betul kalau tadi itu hanyalah guling. Tapi kalau posisinya kayak tadi, siapa sih yang gak kaget.

Setelah degup jantungnya kembali normal, mereka berdua melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu Ghea habiskan ditemani dengan suara-suara menyeramkan yang diputar panitia, juga beberapa poster film horor yang ditempel di pohon-pohon. Tidak ada yang membuat Ghea takut sejauh ini.

Menilik dari waktu perjalanan yang telah dihabiskan, sepertinya perjalanan ini akan segera berakhir.

Hening tercipta sejak tadi di antara dua manusia itu, sampai, “Jalannya licin.”

“Iya. Makanya pelan-pelan aja,” jawab Ghea.

Laki-laki itu mengambil satu langkah ke depan dan mengulurkan tangganya, “Pegang.”

“Hah?” Ghea bingung.

“Pegang aja, nanti lu jatoh. Tadi ga licin aja hampir kepeleset. Gimana ini.”

Ragu-ragu Ghea menerima uluran tangan itu. Apa yang dikatakan ada benarnya. Bagaimana kalau kejadi seperti tadi terulang kembali? Dengan jalanan selicin ini, dapat dipastikan Ghea akan terjatuh.

Ghea berjalan dengan hati-hati masih sambil terus menggenggam tangan itu.

Sampai pada akhirnya, terlihat cahaya terang di ujung sana, tanda jurit malam telah berakhir. Dan ternyata pula, sepanjang sisa perjalanan yang tidak terlalu panjang tadi, tidak ada sesuatu yang membuat Ghea kaget. Meski begitu, tangan itu tetap membantu Ghea ketika beberapa kali jalan terasa lebih licin dibanding yang lain.

Ghea sedikit terkejut ketika tiba di sana dan melihat Nina sudah sampai lebih dulu. Juga beberapa orang yang tadi berjalan setelah dirinya.

“Kok lu bisa selesai duluan?” tanya Ghea heran.

Nina tertawa pelan, “Tadi tuh ada percabangan kanan kiri gitu kan ya.” Ghea mengangguk menanggapi. “Nah, ternyata yang kiri tuh lebih pendek jalannya. Lu pasti pilih kanan, ya. Hahahaha.”

Di tengah percakapan itu, “Ghe, lu pacaran sama Adelio?” tanya Keyla yang baru saja menyelesaikan perjalanannya.

Ghea mengerutkan alisnya, “Hah? Ya engga, lah. Gue aja ga pernah ngobrol sama dia.”

“Lah itu?” mata Keyla melirik sekilas ke arah tangan kanan milik Ghea.

Ghea mengikuti ke mana pandangan Keyla mengarah.

Ghea terlalu sibuk berbicara dengan Nina, sampai-sampai ia tidak sadar, tangan yang sedari tadi digenggamnya belum terlepas. Ia juga kaget setelah mengetahui fakta bahwa tangan itu adalah milik Adelio.

Ghea yang kaget buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Adelio, orang yang ternyata berjalan beriringan dengan Ghea, ia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi.

“Kok lu gak bilang apa-apa sih?” tanya Ghea panik.

“Soalnya lu keasikan ngobrol. Gue bingung ngomongnya gimana,” jawab Adelio santai.

“Hahhh ha ha ha ha,” tawa Ghea canggung.

“Gue duluan ya. Ayo Key, Nin,” dengan wajah yang merah padam karena malu Ghea menarik tangan kedua temannya dan kemudian berlari meninggalkan Adelio di belakang sana.

Adelio di sana, dia diam berdiri dan tertawa puas melihat tingkah panik Ghea.