After a Really Long 4 Years
Aku sedang menunggu Kak Yena ketika mendapat pesan itu dari Zidane. Kak Yena bilang dia akan ke tempatku setelah dia menghabiskan makanan yang dibelinya tadi. Sejujurnya aku sedikit terkejut membaca pesan dari Zidane. Sepanjang hampir 6 tahun berteman dengannya, belum pernah sekali pun aku tanpa sengaja bertemu dengan dia. Meski entah toilet mana yang ia maksud, tetap saja kami berada di kawasan yang sama.
Aku bosan menunggu. Sudah hampir 10 menit aku berdiri di sini. Mau pindah, tapi takut nanti Kak Yena sulit mencarinya. Pada akhirnya aku memilih untuk diam dan memainkan ponselku walau tak tau apalagi yang ingin kulihat di sana. Sejak tadi aku hanya bolak-balik membuka Instagram dan kemudian menggeser-geser home screen. Tidak ada yang menarik.
Aku kembali membuka room chat dengan Zidane. Aku baru menyadari sesuatu. Foto yang ada di story Zidane adalah repost dari story Sagara. Waktu SMA dulu, Zidane, Sagara, dan Kayandhra, 3 orang itu sering kali disebut perangko oleh guru-guru. Kemana saja mereka selalu bersama. Kalau yang 1 pergi, yang lain pasti ikut. Yang 1 loncat pagar, yang lain pun loncat pagar. Dari cerita yang ku dengar dari Zidane, sih sampai saat ini mereka masih begitu. Mungkin hari ini juga begitu. Mungkin Kayandhra juga ada di dufan hari ini.
“Elah, ini orang 2 pada dimana, sih.” Samar-samar aku mendengar rutukan dari seseorang yang baru saja keluar dari area toilet laki-laki.
Aku penasaran. Rasanya suara itu tidak asing. Aku menoleh ke kiri, ke arah laki-laki itu. Awalnya aku tidak mengenali siapa dia karena wajahnya tertutup masker ditambah lagi ia mengenakan topi. Sampai akhirnya dia menyadari keberadaanku dan menoleh ke arahku. Mata kami bertatapan untuk beberapa detik sebelum dia kembali mengalihkan pandangannya.
Mata itu. Aku jelas sekali mengenali siapa pemiliknya. 4 tahun tidak melihatnya tidak akan membuatku lupa dengan itu. Aku yakin sekali aku tau siapa dia. Dia yang dulunya pernah menjadi alasanku tersenyum. Aku berani mengaku kepada semua orang kalau yang ada di hadapanku ini adalah Kayandhra Mahavir. Aku tidak mungkin salah.
2 menit tidak ada percakapan apa-apa. Bertukar pandang pun tidak. Aku tidak berani menegurnya. Aku pun tidak bisa menyalahkan dia. Mungkin saja dia memang tidak ingat siapa aku. Mungkin ingatan akan ku memang sudah benar-benar hilang dari kepalanya. Tidak seperti aku yang terus-menerus terikat masa lalu layaknya orang bodoh, dia jelas sekali telah menjalani kehidupannya dengan baik.
Aku rasa akan lebih baik kalau aku berpindah ke tempat lain. Entah hanya perasaanku atau tidak, tapi rasanya suasana di sini seketika sangat canggung. Dufan siang ini sangat ramai—tentu saja—tapi anehnya keheningan ini justru jauh lebih terasa daripada teriakan orang yang terus bersahut-sahutan sejak tadi.
Baru saja aku melangkahkan kaki, sampai akhirnya suara itu kembali terdengar. Suara yang belum pernah kudengar secara langsung 4 tahun lamanya.
“Sherina.” Laki-laki itu membuka maskernya saat aku menoleh ke padanya.
Aku benar. Dia memang Kayandhra.
“Hai, Sher. Apa kabar?”
Aku mengangguk-angguk pelan. “Baik. Lo gimana?”
“Baik juga,” jawabnya.
“Lo—sama Zidane Sagara, ya?” tanyaku basa-basi walau sebenarnya aku sudah tau jawabannya.
“Hahaha iya, tapi anaknya gatau dimana. Kalo lo sama siapa, Sher?”
“Ada temen. Cewe.” Entah untuk apa aku menambahkan informasi itu. Padahal ya sebenarnya dia tidak perlu tau. Memangnya apa urusan dia kalau pun saat ini akan jalan dengan seorang pria?
Aduh, aku bingung sekali harus membicarakan apa lagi. Aku benar-benar berharap Kak Yena segera menguhubungiku dan bilang dia sudah jalan menuju ke sini. Sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk lebih lama berada di sini.
Ting!
Wah, detik ini juga rasanya aku mau peluk Kak Yena. Benar-benar di saat yang tepat. Dia bilang dia ada beberapa meter di depanku. Dia juga bilang melihatku sedang mengobrol.
“Ka, gue duluan, ya. Temen gue udah balik.”
“Oh, iya. Have a nice day ya, Sher!”
“Iya. Lo juga, ya!” 2 langkah berjalan, aku baru ingat belum melakukan sesuatu.
Aku berbalik arah ke tempat Kay masih diam di sana.
“Kenapa, Sher? Kok balik?”
“Bentar, lo diem dulu.” Aku mencari sesuatu di dalam tasku. Iya, aku mencari campuran air gara, yang aku bicarakan dengan Kinara waktu itu. Nah, akhirnya ketemu.
“Balik badan bentar, Ka.” Wajah Kay terlihat bingung meski pada akhirnya dia tetap membalikkan badannya.
Dengan penuh rasa dendam aku menyemprotakan sebanyak-banyaknya air garam ke punggung Kay. Aku tidak tahan mau tertawa sebetulnya. Coba bayangkan saja, seorang Kayandhra, punggungnya disiramin air garam. Tapi kan kalau aku ketawa nanti wibawanya hilang, dong. Kalau orang-orang mau bilang aku aneh, aku gak bakal mengelak sih. Memang apa sebutan untuk orang yang menyemprotkan air garam ke punggung mantannya di Dufan kalau bukan orang aneh.
Sebetulnya, ya, rencana awalku tuh ingin aku guyur saja mukanya. Tapi aku tidak tega, ah. Kasian. Gini aja cukup.
“Dah, Ka gitu aja. Gue pergi, ya.” Aku berlali meninggalkan Kay. Karena malu juga sih sebenarnya.
Setelah sedikit menjauh aku mendengar suara tawa Zidane dan Sagara. Mereka bersembunyi di toilet rupanya. Sepertinya mereka menyaksikan semua hal tadi. Sayup-sayup aku juga mendengar Sagara bilang ke Zidane, “Ini sih beneran jodoh, Jid.”
“Siapa?” tanya Kak Yena ketika aku menghampirinya.
“Temen SMA.” Kak Yena mengangguk sambil kami berdua berjalan menuju ke wahana selanjutnya yang ingin kami mainkan.
“Tapi kok agak mirip Kayandhra yang artis itu deh, Sher? Atau perasaanku aja ya?”
“Hahahaha.” Aku tertawa.
“KOK KETAWA SIH? Ya sorry kalau salah. Mataku emang agak ga jelas,” rutuk Kak Yena.
“Bukan gitu, Kak. Aku ketawa soalnya itu emang bener Kayandhra,” jawabku masih diiringi sengan tawa pelan.
“Loh serius? Kamu satu SMA sama dia? Aduh, aku tuh fans dia tau. Boleh mintain tanda tangan ke dia gak sih, Sher?” Kak Yena menggebu-gebu. Sepertinya dia memang benar-benar fans Kayandhra.
“Duh, kalau itu susah deh kayaknya. Aku gak deket sama dia,” jawabku yang aku akhiri dengan senyum pahit.