And They Fall In Love (Again)
Sherina duduk di balkon villa menunggu Kayandhra yang katanya ingin mengobrol berdua. Hembusan angin yang dingin dan sejuk membuat Sherina sedikit kedinginan karena dirinya yang memang memakai kaos lengan pendek. Hari ini Sherina mungkin lelah, tapi dia sangat bahagia. Mulai dari sarapan, makan siang, Taman Safari, hingga karaoke sambil makan malam tadi benar-benar membuatnya tersenyum tiada henti. Bicara soal Taman Safari, Sherina gak benar-benar naik gajah, kok. Tadi mama memang mengajaknya ke sana, tapi Sherina menolak habis-habisan. Lagi pula benar kata Sherina. Kasian gajahnya kalau dia naik.
Di tengah lamunannya, Kayandhra datang dengan sebatang coklat di tangannya dan duduk di kursi yang berada persis di samping Sherina.
“Mau coklat?” Sherina mengangguk. Kayandhra tersenyum sekilas ketika memberikan coklat itu pada Sherina. “Sekalian jaket. Kedinginan kan?” sambungnya sambil melingkarkan jaket milik Sherina yang dibawanya dalam perjalanan ke balkon.
“Ya lumayan sih, tapi gak dingin banget.” Kayandhra hanya mengangguk pelan. Matanya menatap lurus ke depan memperhatikan lampu-lampu kota dari kejauhan. Hening tercipta di antara keduanya—hinga akhirnya Kayandhra kembali membuka suara.
“Sher, emang ya, kadang tuh kita harus liat sesuatu dari sudut yang berbeda.” Sherina yang namanya disebut tiba-tiba menoleh dengan mata yang melebar seakan meminta penjelasan lebih lanjut.
Kayandhra tersenyu, “Liat deh lampu-lampu itu.” Tangannya menunjuk lurus ke depan ke arah lampu-lampu di bawah bukit sana. “Biasanya kita selalu ada di tengah banyaknya lampu itu. Meskipun bukan lampu yang ini, tapi ngerti lah ya maksudnya gimana.”
Sherina tertawa sepintas. “Iya ngerti. Ayo sekarang lanjutin lagi.”
“Biasanya kita ada di antara hiruk-pikuknya kota yang mungkin di hari-hari tertentu kita juga udah bosen sama pemandangan itu. Tapi kadang kita lupa, kalau di lihat dari tempat lain, lampu-lampu yang bikin pusing itu bisa jadi bagus di liatnya. Kayak dari tempat kita sekarang deh, contohnya.”
Sherina mengangguk. “Maksudnya gini ya, kadang hal yang sama kalau di lihat dari sudut yang beda, waktu yang beda, dan tempat yang berbeda baru bisa keliatan indahnya.”
“Bener. Tapi kalau di hidup nyata mungkin gak cuma indahnya aja, tapi juga banyak hal lainnya. Karena sebenernya manusia itu jauh lebih rumit dari kelihatannya.”
Sherina lumayan mengerti apa yang dimaksud Kayandhra. Ketika kita mengenal seseorang akan selalu ada banyak tanda tanya yang kita punya. Entah itu baik atau buruk, akan selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. ‘Ngapain sih dia masakin gue mulu?’ hal-hal kayak gitu mungkin buat beberapa orang ga nyaman, tapi bagi sebagian orang lainnya, bisa jadi itu adalah unjuk rasa kalau dia peduli.
Intinya sih, manusia itu rumit. Banyak yang bisa dipelajari lebih dalam dari seseorang. Banyak yang bisa dikenal lebih jauh lagi dari seseorang. Kenal bukan berarti tau segalanya, karena manusia itu punya banyak sisi yang bisa berbeda-beda maknanya.
“Oke paham. Jadi kalau diaplikasiin ke kita nih, kira-kira gimana tuh,” tanggap Sherina.
“Kok tau sih, kalo itu yang bakal jadi inti pembicaraan kita malam ini?” tanya Kayandhra setengah heran. Setengahnya lagi ya dia tidak kaget, karena dirinya dan Sherina memang banyak kesamaan dalam cara berpikir.
“Kalau di kita nih, ya Sher. Aku akan seneng untuk mengenal dan mempelajari lebih banyak tentang semua hal yang ada di kamu dari sisi yang berbeda-beda. Aku akan sangat seneng lagi kalau aku akan ada di titik di mana aku paham sisi baiknya dari semua yang ada di kamu. Pun yang buruknya karena gak mungkin seseorang cuma ada baiknya aja.”
Mendengar jawaban Kayandhra, pipi Sherina perlahan merona. “Kalau aku… Aku juga akan seneng banget kalau bisa tau kamu lebih banyak lagi.”
Kayandhra tersenyum. “Belum 1 bulan sejak kita ketemu lagi setelah 4 tahun, tapi dalam 3 minggu terakhir ini juga udah cukup banyak waktu yang aku habisin sama kamu. Aku seneng banget setiap kali kita ketemu. Aku juga seneng setiap kali kamu chat aku. Kamu juga bisa tanya Ajid sama Saga gimana hebohnya aku. Kita emang sama-sama banyak berubah, tapi kalau yang satu itu aku tetep sama.”
Lagi-lagi Sherina tertawa. “Tetep suka gangguin Ajid sama Saga tengah malem buat tanya harus jawab apa, maksudnya?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Iya yang itu…” jawab Kayandhra pelan karena sebetulnya terbesit sedikit rasa malu dalam dirinya. Udah se-usia ini kok masih aja bingung kalau chat gebetan. Itu yang dipikirnya.
“Kalau kamu inget, waktu aku nembak kamu dulu aku pernah bilang kalau kamu pacar pertamaku dan aku pengennya kamu jadi yang terakhir juga,” lanjut Kayandhra ketika dirinya sudah kembali tenang. “Kalau sekarang, aku gak minta kamu jadi pacar aku lagi kayak dulu. Aku juga gak tau apakah ini terlalu cepet buat kamu. Makanya aku serahin kamu mau sebut ini apa. Tapi kalau aku, aku pengen banget kita sama-sama lagi. Bareng-bareng lagi berbagi cerita di setiap ujung hari. Aku pengen terus dengerin ocehan kamu karena kehabisan buku yang kamu mau atau kamu yang kesel karena baju kamu lecek lagi padahal udah disetrika. Apa pun sebutanya, kalau sama kamu, aku mau. I know this is a very strong word, but I love you, Sher. I loved you and I still do.”
Malam itu rasanya menjadi malam di mana mereka benar-benar sadar kalau hadirnya di sisi masing-masing berarti lebih besar dari yang dulu pernah mereka kira. Sadar kalau ternyata nyaman benar-benar mereka temukan ketika bersama. Dan sadar kalau ternyata mereka benar-benar jatuh cinta.