Why He Fell For Her
Kalau gue boleh jujur, kenal Sagara dan Zidane adalah salah satu hal yang paling gue syukuri. Gue akan jadi pembohong kalau gue bilang mereka bukan teman yang baik. Mereka berdua adalah tipe orang yang rela lakuin apa aja, asalkan orang di sekitarnya bahagia, walau kadang caranya aneh dan bikin geleng-geleng kepala. Kayak hari ini contohnya. Entah gimana mereka bisa kepikiran rencana ini, tapi mungkin kali ini gue harus berterima kasih sama mereka.
Gue duduk di sofa yang sama dengan Sherina. Sofanya berbentuk setengah lingkaran dengan gue di ujung yang satu dan Sherina di ujung satunya.
“Kita... dikerjain ya...” kata gue dengan senyum canggung yang melekat di wajah. Di sisi lain, Sherina, dia hanya ketawa malu-malu sambil memegang tengkuknya dan mata yang melirik kesana-kemari.
Gue dan Sherina berada di area outdoor dari restoran ini. Lokasinya yang berada di lantai cukup tinggi membuat gue bisa melihat jalanan ibu kota dari sini. Lengkap dengan lampu-lampu gedung dan jalanan yang mulai menyala karena hari sudah malam.
Gue gak mau kedengeran kayak omongan buaya, tapi gue serius. Di tengah banyaknya orang yang ada di sini, Sherina masih menjadi orang yang paling menarik perhatian gue. Meski terlihat sederhana dengan baju seadanya dan rambut panjang yang diikat satu, dari dulu sampai sekarang Sherina tetap menjadi satu-satunya orang yang membuat gue gak bisa melihat ke arah yang lain. Wanita cantik itu banyak, tapi Sherina Aileen—dia cuma satu.
Sherina tiba-tiba aja menggeser duduknya mendekat. Dia menyenggol pelan bahu gue. “Ka, makanan di sini mahal deh,” bisiknya dengan wajah merengut yang dibuat-buat. Dari dulu Sherina emang gak pernah mau keluarin uang banyak untuk makan. Bukan makan aja sih, di semua hal dia juga kayak gitu. Pokoknya kalau ada yang murah, ngapain pilih yang mahal.
“Ya emang mahal, Sher,” balas gue dengan balik berbisik.
Ia meringis. “Sayang, Ka. Mending makan pecel lele gak sih? 900 ribu bisa buat makan setahun.”
“Lu mau pecel lele?” tanya gue yang diiringi dengan tawa.
“Mau... ini kan gue sebenernya mau juga karena dipaksa Kinar...”
“Hahaha sama sih. Gue kalo gak karena disuruh Saga sama Ajid juga ogah.”
Gue sendiri kadang suka bingung sama dia. Ketika kebanyakan orang pengen makan malam di restoran mewah sama pasangannya, Sherina justru lebih seneng diajak makan angkringan sambil ngobrol ini itu tanpa harus perlu mikirin orang akan berpikir apa dengan tentang dirinya. Mungkin juga karena dia udah muak sama segala kemewahan yang dia punya dari kecil, kali ya. Kalau kata orang, orang kaya yang beneran kaya biasanya malah terlihat sederhana, karena semua barang dan hidup glamor yang dia punya itu udah gak ada artinya lagi.
Meski sayang sama uang yang dia punya, pada akhirnya Sherina tetep lebih pilih makan di sini. Alasannya karena dia gak enak sama temen-temennya yang udah usaha untuk reservasi tempat. Satu lagi alasan yang buat gue jatuh cinta. Dia selalu menghargai semua yang orang lakukan. Sekecil apa pun itu, artinya akan selalu besar di mata dia.
Orang yang gak suka Sherina, gue yakin itu karena mereka belum kenal dia aja. Serius deh, gak ada alasan untuk gak suka Sherina.
Makanya itu, sampai detik ini, gue masih merasa jadi orang paling bodoh karena segampang itu untuk lepasin Sherina. Rasa menyesal gue, 4 tahun terakhir ini tuh gak pernah hilang. Gue bodoh. Gue sadar. Tapi dulu, pada saat itu gue beneran sekalut itu. Gue tau papi emang bukan laki-laki yang baik, tapi gue pernah sangka kalau dia serendah itu. Gue juga gak sangka kalau selama ini mami udah pendem ini semua sendirian.
Selama gue masih hidup di dunia ini, gue gak akan pernah bosen untuk banggain mami di depan semua orang. Gak pernah sehari pun dalam hidup gue di mana gue gak kagum sama dia. Bener-bener orang baik, yang saking baiknya gak jarang diperlakukan seenaknya sama orang lain. Baiknya Sherina gak jarang bikin gue inget sama mami. Gue inget banget waktu pertama kali ketemu dulu. Lucu banget mereka berdua main puji-pujian. Gak sadar apa ya, di mata gue dua-duanya keren dengan caranya masing-masing.
Di hari prom night, hari di mana hubungan gue dan Sherina kandas, gue gak jelasin dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi sama gue. Di hari itu gue cuma bilang hal ini. Gue bilang kalau gue ragu sama diri gue sendiri. Gue ragu kalau kedepannya gue bisa jadi orang yang tepat buat dia. Sherina jelas gak mungkin iya-iya aja sama permintaan gue. Tapi pada akhirnya dia bilang. Mau seberusaha apapun yang satu, kalau yang lainnya ragu ya bisa apa. Gak akan jalan.
Omongan Sherina mungkin terkesan menusuk, tapi itu ada benarnya. Lebih baik berhenti dulu, urus hidup masing-masing, benahi pikirannya, baru di mulai lagi.
Tok tok tok.
Sherina mengetuk kaca mobil gue dari luar. Agenda makan malam kita hari ini udah selesai. Karena udah malam, serem juga kalau dia harus bawa mobil sendirian, gue akhirnya milih buat ngikutin mobil Sherina dari belakang. Atas izin dia tentunya. Tujuannya ya gak lain dari mastiin dia aman sampai rumah aja sih.
“Makasih ya, Ka udah anter sampai rumah. Walupun kita pisah mobil hahaha,” ucapnya setelah gue membuka jendela mobil.
“Iya sama-sama.”
Gak lama dari itu dia masuk ke dalam rumahnya–gak lupa dengan lambaian tangannya ke arah gue.
Setelah 4 tahun, gue akhirnya ketemu Sherina lagi. Selama ini gue pikir gue pelan-pelan akan lupain dia. Tapi ternyata, setelah akhirnya ketemu dia lagi gue baru sadar. Segala hal tentang dia masih melekat dengan jelas di kepala gue. Bahkan detail sekecil dia wangi parfum yang dia suka masih gue ingat dengan jelas.
Seandainya gue bisa kembali ke masa lalu, mungkin salah satu hal yang ingin gue lakukan adalah memaki diri gue 4 tahun yang lalu. Tapi nyatanya itu gak mungkin. Satu-satunya yang bisa gue lakukan sekarang cuma perbaiki semuanya. Berusaha perbaiki hubungan gue dengan Sherina yang udah hancur, dan mungkin memulai semuanya lagi dari awal. Dan kalau ditanya apa alasan gue jatuh cinta dengan Sherina, gue rasa sampai kapan pun gue gak akan bisa jawab.
Gue jatuh cinta karena dia Sherina. Bukan yang lain.