sunnysiidez

Seminggu pertama sekolah yang ternyata cuma LDKS doang gak pernah ada di bayangan Javian. Dia pikir sekolah itu cuma belajar dan haha hihi aja, tapi ternyata ada juga kegiatan menyebalkan begini.

Sebenarnya ini adalah pertama kalinya Javian sekolah konvensional makanya dia tidak tau banyak. Kalian tau kan bagaimana kebanyakan anak artis ternama selalu homeschooling? Nah, Javian seperti itu. Omara Dinata dan Bagas Mahendra adalah orangtuanya, pasangan yang pernikahannya menghebohkan Indonesia karena sang wanita adalah penyanyi top pada masanya dan yang laki-laki seorang pebisnis muda pada masa itu.

Kalau bicara soal teman, dibilang tidak punya jelas tidak juga. Teman Javian banyak, yah walaupun kebanyakan sekedar kenalan karena mereka berada di kalangan yang sama.

Tapi walau begitu Javian punya teman dekat sejak kecil, namanya Rafael. Karena dunia Javian yang itu-itu saja, jelas mereka kenal karena relasi kedua orang tuanya. Rafael pula lah yang membuat Javian jadi punya ide untuk masuk sekolah yang sama dengan Rafael. Cerita Rafael tentang masa SMA benar-benar membuat Javian iri, dan akhirnya ia benar-benar masuk sekolah di kelas 11 semester 2.

“Tau bakal tetep dipaksa ikut gini mah, taun lalu mendingan gua kabur,” keluh anak laki-laki yang berhasil membuat Javian terkekeh di sampingnya.

Itu Zaky. Teman Rafael yang akhirnya jadi teman Javian juga karena merasa senasib. Berdasarkan cerita yang disampaikannya, tahun lalu Zaky sampai rela izin sekolah dan ke luar negeri demi menghindari LDKS. Sialnya, tahun ini dia malah harus ikut bersama adik kelasnya. Sia-sia sudah semua usahanya.

Saat ini, Rafael, Zaky, serta adik-adik kelasnya yang juga peserta LDKS sedang duduk di auditorium menyaksikan acara penutupan. Satu-persatu panitia LDKS maju ke depan untuk memberikan kesan dan pesannya.

Membosankan. Mendengarkan puluhan orang berbicara hal yang gak jauh-jauh dari Terima kasih semuanya, saya harap kalian sukses dan bahagia selalu sangatlah membosankan bagi Javian. Juga Zaky, dan ratusan orang lainnya di ruangan ini.

Tapi sebentar.

Yang sekarang di depan, entah siapa namanya, Javian ingat anak itu. Anak perempuan yang kemarin buru-buru lari ke UKS untuk ambik kotak P3K karena ada salah satu anak kelas 10 yang cedera saat games di lapangan.

Apa yang dia bilang di depan memang sama saja seperti yang lain, tapi bedanya, cuma anak itu yang membuat Javian menaruh perhatian penuh sudah layaknya terhipnotis.

“Liatin apasih?” tanya Zaky. Sampai anak itu turun panggung, pandangan Javian tak kunjung lepas darinya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Javian menunjuk orang yang dimaksud dengan jarinya demi menjawab pertanyaan Zaky. Yang entah apa lucunya justru membuat Zaky tertawa.

“Kenapa? Lu suka dia? Itu ketua seksi pendidikannya OSIS. Namanya Keisha. Lu kalo suka dia semangat aja sih kata gua. Banyak yang pernah coba deketin, tapi ga pernah ada yang berhasil,” terangnya panjang lebar.

Masih dengan pandangan lurus ke depan Javian tersenyum lebar. Entah apa maksud senyumnya, tapi yang jelas, Javian yakin 100% ia ingin tau lebih banyak tentang anak perempuan yang katanya bernama Keisha itu.

Gue gak berhenti-berhenti cekikian sendiri setelah liat e-mail yang dikirim Selena. Gue tau sih temen-temen gue semuanya emang manusia ajaib yang kadang isi kepalanya gak bisa ditebak, tapi gue rasa, justru hal ini yang bikin gue makin sayang dan seneng temenan sama mereka.

Sesuai undangan tadi, sekarang gue berdiri di depan pintu utama rumah Ivanna yang ber-arsitektur modern. Setelah beberapa lama nunggu, akhirnya salah satu asisten rumah tangga di rumah Ivanna buka pintunya.

Begitu gue masuk, seluruh ruangan lantai 1 udah dihias dengan balon-balon dan foto-foto gue yang digantung di tali dari sudut ke sudut ruangan. Gue terkekeh, gak sangka kalau mereka bakal seniat ini. Padahal kalau dipikir... gue lolos juga belum tentu.

Tiba di halaman belakang rumah, gue tengok kanan kiri. Gak kalah heboh sama ruangan sebelumnya, halaman ini juga banyak banget hiasannya. fairy lights, balon, bahkan banyak ban renang berbentuk macem-macem kayak bebek dan flamingo yang terapung di atas kolam renang. Tapi dari semua itu, yang anehnya kok gue gak liat siapa pun di sini.

Belum selesai gue terkesima sekaligus bingung, tiba-tiba aja badan gue digendong dari belakang. Butuh beberapa detik untuk buat gue sadar kalau itu ternyata Aidan—dan dia mau bawa gue ke arah kolam renang.

“CEBURIN! CEBURIN!” sorak anak-anak lainnya yang entah dari mana mereka muncul.

Selena, Ivanna, Arga, Jeremy, Naufal, Adrian, Nathan, Jian, dan Aidan, semuanya ada di sini.

Belum sempet gue bereaksi, hal berikutnya yang gue sadari adalah gue udah ada di tengah kolam renang dengan baju yang basah kuyup dan temen-temen gue berdiri di sekeliling kolam renang tertawa puas.

Gue gak marah. Gue justru ikut ketawa bareng mereka.

Masih dengan kondisi begini, tiba-tiba aja Naufal dorong Nathan. Gak mau kalah, akhirnya Nathan ikutan tarik Naufal. Singkat cerita, akibat ulah mereka berdua akhirnya semua ikut basah dan masuk kolam renang karena diceburin sama mereka.

Sore ini gue bener-bener bahagia. Rasanya semua beban gue beberapa bulan terakhir akibat lomba ini seakan hilang gitu aja untuk sesaat, karena gue merasa usaha gue dihargai. Meski pun mereka juga belum tau gimana hasilnya, mau lolos atau gak, usaha gue dianggap di mata mereka. Dan itu yang buat gue sangat senang hari ini.

Setelah ada drama Ivanna teriak ke seluruh penjuru villa biar orang-orang pada bangun, akhirnya sekarang kita ada di halaman belakang. Sambil ngobrol-ngobrol ringan sambil makan ala barbeque.

Ada banyak hal antara gue dan Aidan yang gak pernah gue bayangin bakal kejadian di hidup gue. Seenggaknya setelah kejadian 3 tahun lalu.

Entah gimana, gue dan Aidan baikan. Entah gimana, gue dan Aidan jadi main bareng. Entah gimana, gue seakan lupa sama kejadian itu tanpa pernah ada kata Maaf.

“Makan lu berdua. Biar gue sama Arga yang gantian masak,” kata Aidan ke gue dan Adrian.

Dari awal acara ini mulai emang kita berdua terus yang masak, tapi sejujurnya gue gak merasa keberatan dan seneng-seneng aja. Gue yakin adrian juga begitu. Tapi gantian dan bisa ikut makan kayaknya juga bukan ide yang buruk.

Gue ambil mangkuk dan ambil sayur-sayuran yang udah dibakar beserta daging, terus jalan ke tempat yang sedikit lebih jauh dari keramaian tempat ada Dinda di sana.

“Sendirian aja, Din?”

“Engga kok, tadi aku ngobrol sama Nathan. Tapi sekarang dianya lagi ke toilet,” jawab Dinda.

Gue cuma ngangguk aja denger jawabannya. Satu hal tentang gue dan Dinda, kita berdua sering banget cuma diem-dieman dan gak ngomong apapun kalau lagi ketemu karena kita sama-sama tipe orang yang gak bisa cari topik. Tapi walaupun begitu, gue gak pernah merasa canggung kalau sama dia.

“Eh, Lun,” panggil Dinda yang membuat gue menengok ke kiri sekaligus jadi pemecah keheningan.

“Kamu sama Aidan udah baikan, ya?” lanjutnya.

“Engga. Eh, iya kali ya? Gatau deh, aku juga gak ngerti.

Entah apa yang lucu, tapi Dinda jadi ketawa setelah gue jawab itu. “Jadinya baikan apa engga sih HAHAHA.”

“Aku beneran gak tau deh asli. Kayak sekarang kita yaudah aja gitu. Cuma scene maaf-maafan nya juga gak pernah ada. Tapi tau-tau jadi gini. Kalo kamu tanya aku gimana alurnya aku juga gak ngerti kayak ini tuh ngalir gitu aja.”

“Yakin tuh beneran gak ada yang berubah? Yaa mungkin emang bukan kejadian besar, perasaan kamunya kali yang berubah? Hahaha.”

Gue gak ngerti kenapa Dinda bisa ketawa abis ngomong itu. Mungkin lucu. Tapi kok gue gak ketawa ya? Pipi gue justru rasanya panas. Kuling gue juga. Terus perut gue rasanya kayak ada sesuatu yang muter-muter di dalemnya? Gue gak tau deh gimana cara jelasinnya, pokoknya ini aneh.

“IH ENGGAK LAH! Perasaan berubah apanya sih? Yakali aku suka Aidan?!!” bantah gue.

“Aku kan gak bilang kamu suka dia, Luna. Perasaan kan gak cuma soal ituuu. Maksud aku perasaan tuh bisa aja kan kamu sekarang udah maafin dia walaupun dia gak pernah minga maaf. Bisa aja sekarang kamu merasa kehadiran dia ternyata gak semenyebalkan yang dulu kamu pikir. Perasaan kan gak cuma itu Lunaaa.”

Iya juga ya, Dinda emang gak bahas sial shka-sukaan dari tadi.

“Atau jangan-jangan kamu emang suka Aidan? Makanya tadi kamu mikir gitu,” goda Dinda.

Gak tau deh. Gue beneran gak tau apa yang gue rasain. Tapi yang jelas, gue tau ini bukan suka. Gue yakin. Seenggaknya untuk saat ini.

Kalau ada yang liat, kayaknya sekarang gue keliatan kayak anak ayam yang lai ngikutin induknya (Aidan). Gue ngekorin Aidan ke mana aja dia jalan sampai ahirnya kita berhenti di depan pintu bertuliskan “Ruang BK”.

11 tahun sekolah, gak pernah sekali pun gue masuk ruangan ini. Tapi hari ini, perdana gue bakal masuk sama Aidan, yang katanya ruangan ini seru.

Aidan mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Kehadirannya langsung disambut hangat oleh para guru BK.

“Gak masuk kelas, Dan?” tanya Bu Emma, guru kelas 10.

“Harusnya sih PKN kerja kelompok, tapi kelompok saya pada males bu! Katanya kerjain nanti aja,” jawab Aidan.

“Ah, itu sih kamunya juga males kan.” Kali ini Bu Sarah, guru BK kelas 12 yang bersuara.

Aidan tertawa mendengarnya. “Ya gak salah juga sih, bu hahahahaha.”

Semua yang ada di ruangan ikut tertawa berkat Aidan. Orang ini emang selalu bisa bikin orang di sekitarnya senang tanpa perlu banyak berusaha.

“Dan, itu kamu sama siapa?” Bu Ria guru kelas 12 nunjuk ke arah pintu tempat gue daritadi bersembunyi di baliknya.

Aidan tersenyum lebar. “Luna bu, kenal gak?” tanyanya antusias.

“Kenal lahhhh. Siapa sih, yang gak kenal luna di sekolah ini?” canda Bu Ria.

“Sini sini masuk, Luna,” kata Bu Sarah. “Mau ke belakang ya?”

“Iya, bu. Udah ah, Bu jangan diisengin mulu anaknya. Nanti kapok masuk BK, gimana?”

“Ya bagus lah. Emangnya kamu sama temenmu, dikit-dikit masuk BK,” sahut Bu Emma.

“Yang penting kan bukan karena bandel, Bu. PS nya Nathan masih di dalem kan, Bu?” tanya Aidan lagi.

“Iya ada Aidannnn.”

Aidan gak bohong ternyata pas bilang ruangan ini seru. Gak cuma tempatnya nyaman, tapi ternyata guru BK sekolah gue seramah itu dan gue baru tau. Biasanya gue ketemu mereka cuma kalau lagi sesi BK di kelas. Gue gak banyak ngomong kalau di kelas.

Seminggu terakhir rasanya banyak banget yang ada di kepala gue. Rasanya banyak beban yang harus gue tanggung.

Gue takut untuk bikin kecewa, gue takut gak sesuai apa yang diharapkan.

Seminggu ini kerjaan gue cuma belajar dan belajar. Kalau ada waktu senggang juga gue lebih milih untuk tidur atau habisin waktu sendirian aja.

Tapi hari ini, untuk sesaat gue lupain itu dulu. Untuk sesaat gue mau biarin diri gue untuk istirahat.

Lagi-lagi begini.

Duduk di meja makan panjang sendirian. Meja yang harusnya jadi tempat kumpul tapi gak pernah ada orangnya. Meja yang harusnya jadi tempat bercerita tapi justru jadi tempat paling malas untuk ditempati.

Udah jam 9. Dan gue udah duduk di sini dari satu jam yang lalu

“Masih lama, kak?” tanya gue ke Kak Adea yang berdiri di samping kursi yang gue duduki.

Kak Adea menggeleng. “Udah deket katanya.”

Ternyata bener, 15 menit kemudian terdengar pintu utama kebuka.

Beberapa menit berikutnya lagi mama dan papa udah ada di meja makan yang terlalu besar untuk 3 orang.

Momen makan bersama gak pernah jadi sesuatu yang menyenangkan buat gue. Gak ada kehangatan kayak di keluarga kebanyakan orang.

Obrolan dibuka dengan papa cerita soal perkembangan bisnisnya di Amsterdam yang baru mereka datengin kemarin. Kalau dari cerita mama, kayaknya mereka juga sempet jalan-jalan sebentar.

Lanjut tanya-tanya sedikit soal sekolah, sampai akhirnya, “PTS kamu gimana?” tanya papa.

“Lumayan.” Gue mengangguk sambil makan steak yang harusnya enak tapi gue gak selera.

“Yakin 100?”

“Yakin.”

“Lomba math yang di SG kapan, Lun?” Sekarang mama yang bertanya.

“Masih tahun depan, ma. Tapi nanti akhir tahun ada seleksi buat pilih perwakilan sekolahnya.”

“Yakin bisa lolos, kan?”

Lagi-lagi pertanyaan ini.

“Iya, yakin ma…”

Kadang gue suka mikir, keluarga semua orang emang begini, atau keluarga gue aja?

Gue lahir dan besar di keluarga yang sangat ambisius. Di mana setiap kumpul keluarga besar bahasannya gak pernah jauh-jauh dari bisnis, pekerjaan, atau bangga-banggain anaknya.

Itu juga yang bikin gue gak deket sama sepupu kecuali Jian. Kita terbiasa untuk bersaing dengan satu sama lain, gak ada kedekatan di antara kita.

Kadang gue merasa hidup gue kayak robot. Sepanjang hidup dan masa depan gue seakan udah terarah dan diatur, dan gue cuma perlu tunduk dan ikutin jalan yang udah direncanain itu.

Bagi sebagian orang mungkin itu sesuatu yang baik karena seakan masa depan lo udah jelas. Tapi kadang, gue pengen punya kebebasan untuk pilih dan lakuin apa yang gue mau.

Jujur aja, dulu gue gak suka math. Tapi karena terus-menerus dipaksa untuk belajar itu, akhirnya gue terbiasa sama pelajarannya.

Kalau ditanya apa cita-cita gue, gue selalu bingung harus jawab apa. Menurut papa, setelah lulus SMA gue akan masuk teknik sipil dan lanjutin bisnis papa di bidang konstruksi karena menurut dia gue unggul di bidang itu.

Tapi kalau gue sendiri, gue cuma pengen bahagia. Mimpi kecil mungkin bagi sebagian orang. Tapi buat gue, itu bukan sesuatu yang mudah.

Dari kejauhan Bea melihat Orlen melambaikan tangannya. Memberi tanda bagi Bea untuk mengikutinya.

Orlen membawanya ke tempat yang lebih sepi, sedikit lebih jauh dari keramaian. Di sana ada orang yang berpesta merayakan keberhasilannya, tapi di sini ada dua muda-mudi yang sedang meluruskan perasaannya.

Tanpa aba-aba, kalimat pertama yang keluar dari mulut Orlen adalah, “I like you, Be.” Matanya menatap dalam wanita di hadapannya.

Bea menahan napasnya. Dadanya sesak. Rasanya… rentetan kalimat yang sudah disiapkan Bea semakin sulit untuk dikatakam setelah mendengar itu.

Menghembuskan napasnya panjang, Bea akhirnya menjawab, “Iya, gue juga.” Dia tersenyum. Kepalanya mendongak ke atas memandang bulan yang hari itu lumayan terang.

I used to be confused with my feelings. Gue gangerti gue beneran suka lu atau sekedar fans aja, but after spendig some times thinking, I come to a conclusion that… I actually like you. I like you, really.

Orlen harusnya senang. Harusnya.

Namun orlen tau betul, ada lanjutan dari apa yah dikatakan Bea. “Terus kenapa, Be?” tanyanya lirih.

Bea menoleh. Tubuhnya dan Orlen kini berhadapan. Lagi-lagi ia menarik napas panjang. “You’re too far away, Ren,” ucapnya pilu.

“Maksudnya gimana?” Orlen masih tidak mengerti. Dia tidak paham apa yang ada di pikiran bela. Ia tidak mengerti jalan pikirnya.

Bea tersenyum, namun siapa pun yang melihat pasti tau tersimpan rasa sakit yang mendalam pada dirinya.

Tangannya menggenggam tangan Orlen lalu mengusapnya lembut.

“Kejadian kemarin tuh… beneran bikin gue sadar, Ren. Beberapa waktu terkahir gue seakan hidup di mimpi dan jauh dari realita. Tapi kejadian itu bikin gue sadar lagi, ternyata kita emang sebeda itu. Gue gak bisa, Ren.”

“Gue cuma bakal jadi beban buat lu ke depannya kalo gue sendiri aja merasa gak pantas. Jadi gue rasa… kita udah di sini aja ya,” lanjutnya.

Orlen tertawa pilu. “Lucu ya, Be. Kita udahin sesuatu yang bahkan… dimulai aja gak pernah.”

“Maaf…”

Perlahan Bea melepaskan genggaman tangannya. Berbalik badan dan sedikit demi sedikit berlajan meninggalkan Orlen di belakang. Sedangkan yang laki-laki, dia hanya memandang punggung sosok perempuan yang hampir menjadi “wanita-nya”. Menatap hingga punggug itu perlahan menjauh, hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Orlen bukan sosok yang mudah menangis, tapi hari ini saja ingin rasanya ia kembali menjadi anak kecil yang bisa menangis kapan saja. Menyudahi sesuatu sebelum dimulai tidak mudah baginya. Dan satu hal yang Bea dan tidak banyak orang ketahui, wanita yang tadi itu cinta pertamanya. Bea itu cinta pertamanya.

Di satu sisi, melepaskan Orlen juga bukan hal yang mudah bagi Bea. Tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Butuh waktu satu bulan sampai Bea akhirnya sampai di keputusan ini.

Ini sedih. Sedih sekali baginya. Tapi berada dalam suatu hubungan di mana dirinya sendiri tidak merasa nyaman, itu jauh lebih menyiksa baginya. Waktu akan menyembuhkan, tunggu saja.

Bagi Bea, Orlen itu bintangnya. Dan Bea hanya satu dari sekian banyaknya manusia yang menyukai bintang.

Orlen itu jauh, terlalu jauh. Tapi satu hal tentang mereka, keduanya masih hidup di bawah langit yang sama. Langit menyaksikan semuanya.

Ia tau perasaan Bea yang sebenernya. Ia tau betapa sebenarnya Bea sangat menyayangi Orlen.

The sky knows. The sky knows it all.

Atas dasar sogokan dan demi menambah koleksi tas baru di lemarinya, Bea akhirnya datang ke resto hotpot milik sang mami yang ada di Senayan City.

Liat-liat furniture, alat masak, tanya ini-itu sama waitress, tugas Bea selesai juga. Semuanya aman kecuali meja kasir yang ada lecet sedikit. Bea udah siap buat laporan sama mami kesayangan.

Restoran punya keluarga Bea ini memang udah terkenal banget di Jakarta, khususnya di kalangan anak muda. Kalau dengar kata Hot Soup, pasti yang kepikir tuh, Oh resto hotpot yang rame itu ya? Tapi emang enak, sih, gitu lah kira-kira.

Di tengah banyaknya pelanggan hari ini, ada satu orang yang Bea rasa cukup familiar.

Bea sedang jalan kembali ke meja tempat barang dan makannya berasa saat orang yang dia pikir familiar itu memanggil dari jauh, “Mba, saya mau pesen.”

Sempat kikuk dan tengok kanan-kiri, tapi akhirnya Bea sadar kalau yang dipanggil, tuh dia. Nunduk melihat baju yang dipakai, Pantesan aja dikira waitress, pikirnya.

Celana hitam dengan kemeja putih. Bajunya mirip sama orang-orang yang lagi bekerja hari ini. Bukan gak mau, tapi jujur aja Bea juga gak terlalu ngerti gimana cara layanin pelanggan. Dia bahkan gak hafal menu-menu di resto ini.

Untungnya salah seorang waitress ada di dekat situ. Bea beri kode dan orang itu langsung mengerti maksud Bea dan segera melayani pelanggan yang tadi. Bea lega. Dia akhirnya bisa balik ke mejanya.

Lagi asik nonton Netflix di iPad nya, Bea malah menengok ke kanan karena merasa ada yang jalan ke arahnya.

Ternyata itu pelanggan yang tadi.

Makin dekat, Bea baru sadar sesuatu.

Pantas aja familiar. Orang itu Shaquille Orlen!!

Anggota band 00 Area yang selalu Bea dengar lagunya setiap hari. Member favorit Bea yang gak pernah gagal bikin Bea terpukau sama suaranya.

Detik itu juga Bea berhenti berfungsi.

Gila... Kok bisa ya sweatshirt abu-abu doang jadi sekeren ini kalo dipake Orlen.

“Halo???”

“Eh? Sorry, Kak. Eh aduh pake 'Kak' gak ya... Gue 2 tahun lebih muda sih, eh, aduh tapi gimana dong?!”

Bea malah heboh sendiri.

Melihat perempuan di hadapannya kebingungan, Shaquille Orlen si artis papan atas itu terkekeh, “Lo kenapa sih?”

Seketika Bea langsung malu, “Aduh maaf banget... Gue tadi kayaknya aneh banget, ya?”

Laki-laki itu menggeleng, berusaha meyakinkan lawan bicaranya kalau yang tadi tuh gak apa-apa. Dia mengulurkan tangannya, “Nama gue Shaquille Orlen. Biasanya sih dipanggil Orlen atau gak Ren.”

Woy... Emangnya ada ya yang gak kenal dia siapa?!!

Bea akhirnya berdiri dari duduknya, “Gue Alanna Bea, dipanggil Bea soalnya nama Alanna banyak banget,” balasnya sambil menerima jabatan tangan Orlen.

“Sebenernya lu, eh, Kak Or—”

“Gausah pake 'Kak' gapapa”

“Sebenernya tanpa lu ngenalin diri juga gue udah tau siapa, kok... Gue Arena soalnya...” Kata Bea malu-malu dengan kepala yang menunduk ke lantai gak berani membuat kontak mata.

Arena itu sebutan untuk fans-nya 00 Area.

“Loh, iya? Tadi gue kira lu gak jawab karena takut ngira gue orang jahat.”

Bea reflek angkat kepala dan melotot heran, “Itu, sih namanya gue lagi salting!”

Orlen tertawa liat reaksi Bea.

Kalau begini terus, bisa-bisa sepanjang jalan pulang Bea teriak-teriak di mobil.

“Tadi gue cuma mau bilang ini sebenernya. Sorry, ya tadi gue kira waitress. Gue baru dikasih tau orang yang tadi kalo ternyata lu anaknya yang punya.”

“Eh, hahaha. Santai aja gapapa, kok.”

Bea emang kadang suka canggung kalau berbicara langsung sama orang baru, tapi kalau sekarang sih udah bukan canggung lagi namanya. Bea udah hampir gak bisa ngomong!

By the way, makanan di sini enak-enak banget, deh. Kapan-kapan kasih tau gue dong kalo lagi gak rame, pengen kesini lagi,” kata Orlen lagi dengan senyum yang gak luntur-luntur dari wajahnya.

“Ummm... Kalo nunggu sepi kayaknya agak susah deh, tapi kalo lo mau dateng bisa kasih tau ke gue atau resto aja biar di close sementara biar cuma lo doang. Kadang-kadang suka ada yang minta gitu dan bisa kok, cuma ya jangan mendadak aja.”

“Oh, berarti kalo ngomongnya lewat lo aja boleh, ya?”

Gatau deh, udah berapa kali Bea dibikin salah tingkah sama Orlen hari ini.

“Ya boleh aja... Tapi contact nya gimana? Kalo mau gampang ya ke resto aja.”

“DM aja,” jawab Orlen santai. “IG lo apa? Biar gue follow.”

Bea beneran udah gak ngerti lagi gimana cara deskripsiin perasaannya saat ini. Beneran campur aduk pake banget.

Pintu apartemen terbuka dan sesosok laki-laki muncul dari baliknya.

Itu Keenan.

“Be, gue bawa pizza nih. Gue tau lu pasti belum makan dari tadi.”

Bea yang sedang duduk di sofa menoleh sekilas dan mengangguk lemas. Sejak tadi TV di depannya dibiarkan menyala memutar apa saja yang bisa diputar dengan harapan suara-suara itu bisa sedikit mengalihkan pikirannya, namun percuma.

Keenan mendekat ke sofa dan duduk di samping Bea dengan beberapa potong pizza yang diletakkannya di dalam piring.

“Makan,” katanya.

Bea menuruti Keenan dan menerima suapan dari Keenan.

“Gue kacau banget ya?”

Jujur saja kondisi Bea kacau, rambutnya berantakan, matanya sembab. Entah lah sudah berapa lama dia menangis hari ini. Akan tetapi, bukan Keenan namanya kalau tidak tau cara membuat Bea senang.

“Enggak...” ucap Keenan lembut dengan tangan yang mengelus halus rambut Bea, “Cantik, kok.”

“Ah elo mahhhh gausah boong dehhhh.” Bea memasang wajah kesal dan memukul lengan Keenan keras-keras dan kemudian tertawa pelan.

Keenan tersenyum. Senang melihat sahabatnya tertawa, meski dia sadar betul tawa itu terdengar pilu.

Bea menyandarkan kepalanya di bahu Keenan yang disambut dengan hangat oleh si laki-laki.

“Harusnya dari awal gue sadar Keenan... Dunia gue sama dia tuh kelewat beda...”

Keenan tidak banyak bicara malam ini. Hanya mendengar cerita dan keluhan Bea dengan satu tangan digunakan untuk mengelus dan tangan yang satu menyuapi pizza.

Kenal Bea sejak awal kuliah membuat Keenan hafal di luar kepala, Bea gak butuh saran, dia cuma mau didengar. Pada akhirnya, Bea selalu bisa menemukan jalan keluarnya sendiri.

Long story short, 2 weeks have passed.

Aidan and I get a bit closer eversince that face time incident. Well at least that’s what me and almost the whole school thought.

Gue jadi lumayan sering chat dan ngobrol sama Aidan di sekolah. Kadang Aidan suka dateng ke kelas gue kalo istirahat. Kalau dia lagi punya banyak cerita, dia bakal ngomong non-stop selama seenggaknya 30 menit, tapi kalau menurut dia gak ada yang menarik, dia bisa cuma duduk di kursi depan gue yang diputer jadi hadap-hadapan terus dia main handphone aja sampai waktu istirahat habis. Kalau gue tanya ngapain disini, jawaban dia selalu, “Males ah kantin panas.”

Omongan-omongan tentang gue dan Aidan juga mulai menyebar. Yang katanya kita pacaran lah, Aidan punya hutang sama gue lah, sampe rumor kita tunangan tuh juga ada.

Rumor yang terakhir itu bisa muncul karena dulu ada kakak sepupunya Aidan, Kak Rangga, yang akhirnya pas kelas 12 ketauan kalau punya tunangan dari kelas 10. Hal kayak gini sebenernya udah gak asing di keluarga gue dan sebagian anak-anak di sekolah, tapi emang biasanya dirahasiain dari publik sampai akhirnya resmi diumumin.

Gue males banget sama semua ini, tapi ya gimana lagi. Gue main sama Aidan, orang yang dikenal satu sekolah dan temennya dimana-mana. Ini sih emang nasib namanya.

Huhhhhh

Gue menghela napas panjang, bikin Aidan yang lagi fokus nyetir nengok ke arah gue, “Kenapa?”

“Mama.” Aidan mengangguk, seolah ngerti maksud gue tanpa perlu gue jelasin apa-apa.

Sekarang kita lagi di mobil. Jumat terakhir di bulan September. Jadwalnya pulang bareng.

Sampai di depan rumah, Aidan biasanya bakal langsung buka kunci mobil dan gue langsung turun gitu aja, tapi ini engga. Udah beberapa menit dan kita masih diem di dalam mobil. Tanpa sepatah kata pun.

“Ai?”

“Lun,” bukannya jawab dia justru balik manggil. Raut wajahnya terlihat kayak dia punya banyak yang mau dia omongin di kepalanya, tapi dia bingung harus mulai darimana.

You're the most hard working person I've ever known. You've always worked hard.”

deg.

Gue gak nyangka itu kalimat pertama yang akan dia omongin sore ini.

“Dulu waktu kita TK, semua orang pada nangis dan nyerah karena gabisa bikin origami, tapi lu malah gak mau pulang sampe akhirnya bisa. Dan lu berhasil.”

Gue masih gak ngerti kemana arah pembicaraan ini, tapi gue memutuskan buat dengerin Aidan sampai selesai.

I know you'll get trough this, Lun. I know you'll ace this just like everything you had done before. It's okay sometimes to take a rest, do things that you like. Enjoy your life, Lun. You will only be a teenager once.

He turned his head, making his eye looking right into my eye.

Live your life to the fullest, Lun. live your life happily.”

I lost it here. My tears burst. I really let my guard down. I cried in front of him.

Aidan akhirnya buka kunci mobilnya. Gue langsung buru-buru turun dan sebelum gue tutup pintunya Aidan ngomong, “If you need someone to talk, I'm here. I'm always here.”

Gue lari ke kamar. Barang-barang yang gue bawa gue lempar asal ke sembarang arah. Gue gak bisa untuk gak nangis.

It hurts. It hurts to know that sometimes, a person who truly cares for you, is not even your family.