45.

Dari kejauhan Bea melihat Orlen melambaikan tangannya. Memberi tanda bagi Bea untuk mengikutinya.

Orlen membawanya ke tempat yang lebih sepi, sedikit lebih jauh dari keramaian. Di sana ada orang yang berpesta merayakan keberhasilannya, tapi di sini ada dua muda-mudi yang sedang meluruskan perasaannya.

Tanpa aba-aba, kalimat pertama yang keluar dari mulut Orlen adalah, “I like you, Be.” Matanya menatap dalam wanita di hadapannya.

Bea menahan napasnya. Dadanya sesak. Rasanya… rentetan kalimat yang sudah disiapkan Bea semakin sulit untuk dikatakam setelah mendengar itu.

Menghembuskan napasnya panjang, Bea akhirnya menjawab, “Iya, gue juga.” Dia tersenyum. Kepalanya mendongak ke atas memandang bulan yang hari itu lumayan terang.

I used to be confused with my feelings. Gue gangerti gue beneran suka lu atau sekedar fans aja, but after spendig some times thinking, I come to a conclusion that… I actually like you. I like you, really.

Orlen harusnya senang. Harusnya.

Namun orlen tau betul, ada lanjutan dari apa yah dikatakan Bea. “Terus kenapa, Be?” tanyanya lirih.

Bea menoleh. Tubuhnya dan Orlen kini berhadapan. Lagi-lagi ia menarik napas panjang. “You’re too far away, Ren,” ucapnya pilu.

“Maksudnya gimana?” Orlen masih tidak mengerti. Dia tidak paham apa yang ada di pikiran bela. Ia tidak mengerti jalan pikirnya.

Bea tersenyum, namun siapa pun yang melihat pasti tau tersimpan rasa sakit yang mendalam pada dirinya.

Tangannya menggenggam tangan Orlen lalu mengusapnya lembut.

“Kejadian kemarin tuh… beneran bikin gue sadar, Ren. Beberapa waktu terkahir gue seakan hidup di mimpi dan jauh dari realita. Tapi kejadian itu bikin gue sadar lagi, ternyata kita emang sebeda itu. Gue gak bisa, Ren.”

“Gue cuma bakal jadi beban buat lu ke depannya kalo gue sendiri aja merasa gak pantas. Jadi gue rasa… kita udah di sini aja ya,” lanjutnya.

Orlen tertawa pilu. “Lucu ya, Be. Kita udahin sesuatu yang bahkan… dimulai aja gak pernah.”

“Maaf…”

Perlahan Bea melepaskan genggaman tangannya. Berbalik badan dan sedikit demi sedikit berlajan meninggalkan Orlen di belakang. Sedangkan yang laki-laki, dia hanya memandang punggung sosok perempuan yang hampir menjadi “wanita-nya”. Menatap hingga punggug itu perlahan menjauh, hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Orlen bukan sosok yang mudah menangis, tapi hari ini saja ingin rasanya ia kembali menjadi anak kecil yang bisa menangis kapan saja. Menyudahi sesuatu sebelum dimulai tidak mudah baginya. Dan satu hal yang Bea dan tidak banyak orang ketahui, wanita yang tadi itu cinta pertamanya. Bea itu cinta pertamanya.

Di satu sisi, melepaskan Orlen juga bukan hal yang mudah bagi Bea. Tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Butuh waktu satu bulan sampai Bea akhirnya sampai di keputusan ini.

Ini sedih. Sedih sekali baginya. Tapi berada dalam suatu hubungan di mana dirinya sendiri tidak merasa nyaman, itu jauh lebih menyiksa baginya. Waktu akan menyembuhkan, tunggu saja.

Bagi Bea, Orlen itu bintangnya. Dan Bea hanya satu dari sekian banyaknya manusia yang menyukai bintang.

Orlen itu jauh, terlalu jauh. Tapi satu hal tentang mereka, keduanya masih hidup di bawah langit yang sama. Langit menyaksikan semuanya.

Ia tau perasaan Bea yang sebenernya. Ia tau betapa sebenarnya Bea sangat menyayangi Orlen.

The sky knows. The sky knows it all.