060.
Huhhhhh
Gue menghela napas panjang, bikin Aidan yang lagi fokus nyetir nengok ke arah gue, “Kenapa?”
“Mama.” Aidan mengangguk, seolah ngerti maksud gue tanpa perlu gue jelasin apa-apa.
Sekarang kita lagi di mobil. Jumat terakhir di bulan September. Jadwalnya pulang bareng.
Sampai di depan rumah, Aidan biasanya bakal langsung buka kunci mobil dan gue langsung turun gitu aja, tapi ini engga. Udah beberapa menit dan kita masih diem di dalam mobil. Tanpa sepatah kata pun.
“Ai?”
“Lun,” bukannya jawab dia justru balik manggil. Raut wajahnya terlihat kayak dia punya banyak yang mau dia omongin di kepalanya, tapi dia bingung harus mulai darimana.
“You're the most hard working person I've ever known. You've always worked hard.”
deg.
Gue gak nyangka itu kalimat pertama yang akan dia omongin sore ini.
“Dulu waktu kita TK, semua orang pada nangis dan nyerah karena gabisa bikin origami, tapi lu malah gak mau pulang sampe akhirnya bisa. Dan lu berhasil.”
Gue masih gak ngerti kemana arah pembicaraan ini, tapi gue memutuskan buat dengerin Aidan sampai selesai.
“I know you'll get trough this, Lun. I know you'll ace this just like everything you had done before. It's okay sometimes to take a rest, do things that you like. Enjoy your life, Lun. You will only be a teenager once.“
He turned his head, making his eye looking right into my eye.
“Live your life to the fullest, Lun. live your life happily.”
I lost it here. My tears burst. I really let my guard down. I cried in front of him.
Aidan akhirnya buka kunci mobilnya. Gue langsung buru-buru turun dan sebelum gue tutup pintunya Aidan ngomong, “If you need someone to talk, I'm here. I'm always here.”
Gue lari ke kamar. Barang-barang yang gue bawa gue lempar asal ke sembarang arah. Gue gak bisa untuk gak nangis.
It hurts. It hurts to know that sometimes, a person who truly cares for you, is not even your family.