070.

Lagi-lagi begini.

Duduk di meja makan panjang sendirian. Meja yang harusnya jadi tempat kumpul tapi gak pernah ada orangnya. Meja yang harusnya jadi tempat bercerita tapi justru jadi tempat paling malas untuk ditempati.

Udah jam 9. Dan gue udah duduk di sini dari satu jam yang lalu

“Masih lama, kak?” tanya gue ke Kak Adea yang berdiri di samping kursi yang gue duduki.

Kak Adea menggeleng. “Udah deket katanya.”

Ternyata bener, 15 menit kemudian terdengar pintu utama kebuka.

Beberapa menit berikutnya lagi mama dan papa udah ada di meja makan yang terlalu besar untuk 3 orang.

Momen makan bersama gak pernah jadi sesuatu yang menyenangkan buat gue. Gak ada kehangatan kayak di keluarga kebanyakan orang.

Obrolan dibuka dengan papa cerita soal perkembangan bisnisnya di Amsterdam yang baru mereka datengin kemarin. Kalau dari cerita mama, kayaknya mereka juga sempet jalan-jalan sebentar.

Lanjut tanya-tanya sedikit soal sekolah, sampai akhirnya, “PTS kamu gimana?” tanya papa.

“Lumayan.” Gue mengangguk sambil makan steak yang harusnya enak tapi gue gak selera.

“Yakin 100?”

“Yakin.”

“Lomba math yang di SG kapan, Lun?” Sekarang mama yang bertanya.

“Masih tahun depan, ma. Tapi nanti akhir tahun ada seleksi buat pilih perwakilan sekolahnya.”

“Yakin bisa lolos, kan?”

Lagi-lagi pertanyaan ini.

“Iya, yakin ma…”

Kadang gue suka mikir, keluarga semua orang emang begini, atau keluarga gue aja?

Gue lahir dan besar di keluarga yang sangat ambisius. Di mana setiap kumpul keluarga besar bahasannya gak pernah jauh-jauh dari bisnis, pekerjaan, atau bangga-banggain anaknya.

Itu juga yang bikin gue gak deket sama sepupu kecuali Jian. Kita terbiasa untuk bersaing dengan satu sama lain, gak ada kedekatan di antara kita.

Kadang gue merasa hidup gue kayak robot. Sepanjang hidup dan masa depan gue seakan udah terarah dan diatur, dan gue cuma perlu tunduk dan ikutin jalan yang udah direncanain itu.

Bagi sebagian orang mungkin itu sesuatu yang baik karena seakan masa depan lo udah jelas. Tapi kadang, gue pengen punya kebebasan untuk pilih dan lakuin apa yang gue mau.

Jujur aja, dulu gue gak suka math. Tapi karena terus-menerus dipaksa untuk belajar itu, akhirnya gue terbiasa sama pelajarannya.

Kalau ditanya apa cita-cita gue, gue selalu bingung harus jawab apa. Menurut papa, setelah lulus SMA gue akan masuk teknik sipil dan lanjutin bisnis papa di bidang konstruksi karena menurut dia gue unggul di bidang itu.

Tapi kalau gue sendiri, gue cuma pengen bahagia. Mimpi kecil mungkin bagi sebagian orang. Tapi buat gue, itu bukan sesuatu yang mudah.