35.

Pintu apartemen terbuka dan sesosok laki-laki muncul dari baliknya.

Itu Keenan.

“Be, gue bawa pizza nih. Gue tau lu pasti belum makan dari tadi.”

Bea yang sedang duduk di sofa menoleh sekilas dan mengangguk lemas. Sejak tadi TV di depannya dibiarkan menyala memutar apa saja yang bisa diputar dengan harapan suara-suara itu bisa sedikit mengalihkan pikirannya, namun percuma.

Keenan mendekat ke sofa dan duduk di samping Bea dengan beberapa potong pizza yang diletakkannya di dalam piring.

“Makan,” katanya.

Bea menuruti Keenan dan menerima suapan dari Keenan.

“Gue kacau banget ya?”

Jujur saja kondisi Bea kacau, rambutnya berantakan, matanya sembab. Entah lah sudah berapa lama dia menangis hari ini. Akan tetapi, bukan Keenan namanya kalau tidak tau cara membuat Bea senang.

“Enggak...” ucap Keenan lembut dengan tangan yang mengelus halus rambut Bea, “Cantik, kok.”

“Ah elo mahhhh gausah boong dehhhh.” Bea memasang wajah kesal dan memukul lengan Keenan keras-keras dan kemudian tertawa pelan.

Keenan tersenyum. Senang melihat sahabatnya tertawa, meski dia sadar betul tawa itu terdengar pilu.

Bea menyandarkan kepalanya di bahu Keenan yang disambut dengan hangat oleh si laki-laki.

“Harusnya dari awal gue sadar Keenan... Dunia gue sama dia tuh kelewat beda...”

Keenan tidak banyak bicara malam ini. Hanya mendengar cerita dan keluhan Bea dengan satu tangan digunakan untuk mengelus dan tangan yang satu menyuapi pizza.

Kenal Bea sejak awal kuliah membuat Keenan hafal di luar kepala, Bea gak butuh saran, dia cuma mau didengar. Pada akhirnya, Bea selalu bisa menemukan jalan keluarnya sendiri.