sunnysiidez

Entah gimana ceritanya, entah apa yang merasuki otak Keisha, tapi pada akhirnya Keisha setuju. Dan di sini lah mereka sekarang. Di dalam mobil. Berdua. Di perjalanan menuju rumah Keisha. Rute yang dulunya sering kali mereka lewati bersama.

“Aren’t this feels good?” tanya Naufal tiba-tiba.

Keisha yang sejak tadi melamun menoleh dan menatap Naufal yang pandangannya masih fokus ke depan. “Apanya?”

“The situation. Just like the good old days.”

Iya. Dulu momen seperti ini pernah menjadi favoritnya. Menghabiskan waktu dengan Naufal pernah jadi aktivitas kesukaan Keisha.

“Kei,” panggil Naufal yang gak dibals apapun oleh Keisha. “I’m sorry.”

“Buat?” Keisha tertawa ketus. “Udah lah, Fal. Gausah dibahas. Udah lewat juga.”

“Aku ajak kamu pulang bareng buat bahas ini, Kei,” balas Naufal.

“Bahas apa?”

“Ya bahas kita.”

Keisha menggelengkan kepalanya sedikit tidak habis pilir dengan jawaban Naufal. “Apanya yang mau dibahas? Kita udah selesai. Dari hari kita ketemu waktu itu, semuanya udah selesai.”

“Iya buat kamu.” Untuk sesaat Naufal mengalihkan pandangannya dari jalan di depan dan menatap Keisha. “Tapi buat aku engga. Apa yang bisa selesai dari sesuatu yang dimulai aja belum?”

“Fal, come on.” Hembusan nafas berat terdengar dari gadis itu. “Jangan bertingkah seolah semuanya salah aku, deh. Oke, kita emang gak pernah pacaran. Tapi itu juga karena kamu kan yang selalu minta aku nunggu? Aku nunggu kamu dari kita kelas 9. Aku tunggu kamu setahun lebih.

Dan gausah pura-pura, Fal. Aku yakin kok kamu juga sadar. Kita emang gak pacaran, tapi kita jelas lebih dari gak ada apa-apa.

Terakhir sebelum aku ngomong itu aku juga sempet tanya kamu lagi kan? Lagi-lagi kamu suruh aku tunggu. Tunggu apala—”

“Tunggu aku siap, Kei,” potong Naufal. “Tunggu aku merasa cukup baik buat kamu. Kamu tau hidupku kacau, Kei. Kamu tau itu. Aku butuh kamu.”

“Fal, emangnya aku pernah permasalahin soal diri kamu? Engga kan? Kamu dan segala kurangmu yang kamu bahas itu cuma ada di otak kamu. Lagian, siapa sih manusia yang sempurna? Gak ada.” Ia juga tak paham apa yang salah dengan dirinya, tapi matanya berkaca-kaca. “Dulu aku kira juga aku bisa selamanya tunggu kamu, tapi ternyata aku gak bisa. Aku capek, Fal. Udah, ya? Cukup.”

Mobil yang membawa mereka berdua sudah tiba di tujuannya. Sudah berhenti pula dengan sempurna di depan pagar tinggi berwarna hitam itu.

Persis sebelum Keisha membuka pintu mobil untuk terakhir kalinya Naufal kembali memanggil Keisha. “Kei, bisa gak kita balik temenan kayak dulu?”

“Aku gak bisa janji,” jawabnya sambil menutup pintu mobil dan benar-benar meninggalkan laki-laki yang pernah menjadi bahagianya itu.

Segala hal memang selalu ada akhirnya. Dan mungkin ini akhir bagi kisah mereka berdua.

Entah gimana ceritanya, entah apa yang merasuki otak Keisha, tapi pada akhirnya Keisha setuju. Dan di sini lah mereka sekarang. Di dalam mobil. Berdua. Di perjalanan menuju rumah Keisha. Rute yang dulunya sering kali mereka lewati bersama.

“Aren’t this feels good?” tanya Naufal tiba-tiba.

Keisha yang sejak tadi melamun menoleh dan menatap Naufal yang pandangannya masih fokus ke depan. “Apanya?”

“The situation. Just like the good old days.”

Iya. Dulu momen seperti ini pernah menjadi favoritnya. Menghabiskan waktu dengan Naufal pernah jadi aktivitas kesukaan Keisha.

“Kei,” panggil Naufal yang gak dibals apapun oleh Keisha. “I’m sorry.”

“Buat?” Keisha tertawa ketus. “Udah lah, Fal. Gausah dibahas. Udah lewat juga.”

“Aku ajak kamu pulang bareng buat bahas ini, Kei,” balas Naufal.

“Bahas apa?”

“Ya bahas kita.”

Keisha menggelengkan kepalanya sedikit tidak habis pilir dengan jawaban Naufal. “Apanya yang mau dibahas? Kita udah selesai. Dari hari kita ketemu waktu itu, semuanya udah selesai.”

“Iya buat kamu.” Untuk sesaat Naufal mengalihkan pandangannya dari jalan di depan dan menatap Keisha. “Tapi buat aku engga. Apa yang bisa selesai dari sesuatu yang dimulai aja belum?”

“Fal, come on.” Hembusan nafas berat terdengar dari gadis itu. “Jangan bertingkah seolah semuanya salah aku, deh. Oke, kita emang gak pernah pacaran. Tapi itu juga karena kamu kan yang selalu minta aku nunggu? Aku nunggu kamu dari kita kelas 9. Aku tunggu kamu setahun lebih.

Dan gausah pura-pura, Fal. Aku yakin kok kamu juga sadar. Kita emang gak pacaran, tapi kita jelas lebih dari gak ada apa-apa.

Terakhir sebelum aku ngomong itu aku juga sempet tanya kamu lagi kan? Lagi-lagi kamu suruh aku tunggu. Tunggu apala—”

“Tunggu aku siap, Kei,” potong Naufal. “Tunggu aku merasa cukup baik buat kamu. Kamu tau hidupku kacau, Kei. Kamu tau itu. Aku butuh kamu.”

“Fal, emangnya aku pernah permasalahin soal diri kamu? Engga kan? Kamu dan segala kurangmu yang kamu bahas itu cuma ada di otak kamu. Lagian, siapa sih manusia yang sempurna? Gak ada.” Ia juga tak paham apa yang salah dengan dirinya, tapi matanya berkaca-kaca. “Dulu aku kira juga aku bisa selamanya tunggu kamu, tapi ternyata aku gak bisa. Aku capek, Fal. Udah, ya? Cukup.”

Mobil yang membawa mereka berdua sudah tiba di tujuannya. Sudah berhenti pula dengan sempurna di depan pagar tinggi berwarna hitam itu.

Persis sebelum Keisha membuka pintu mobil untuk terakhir kalinya Naufal kembali memanggil Keisha. “Kei, bisa gak kita balik temenan kayak dulu?”

“Aku gak bisa janji,” jawabnya sambil menutup pintu mobil dan benar-benar meninggalkan laki-laki yang pernah menjadi bahagianya itu.

Segala hal memang selalu ada akhirnya. Dan mungkin ini akhir bagi kisah mereka berdua.

Entah gimana ceritanya, entah apa yang merasuki otak Keisha, tapi pada akhirnya Keisha setuju. Dan di sini lah mereka sekarang. Di dalam mobil. Berdua. Di perjalanan menuju rumah Keisha. Rute yang dulunya sering kali mereka lewati bersama.

“Aren’t this feels good?” tanya Naufal tiba-tiba.

Keisha yang sejak tadi melamun menoleh dan menatap Naufal yang pandangannya masih fokus ke depan. “Apanya?”

“The situation. Just like the good old days.”

Iya. Dulu momen seperti ini pernah menjadi favoritnya. Menghabiskan waktu dengan Naufal pernah jadi aktivitas kesukaan Keisha.

“Kei,” panggil Naufal yang gak dibals apapun oleh Keisha. “I’m sorry.”

“Buat?” Keisha tertawa ketus. “Udah lah, Fal. Gausah dibahas. Udah lewat juga.”

“Aku ajak kamu pulang bareng buat bahas ini, Kei,” balas Naufal.

“Bahas apa?”

“Ya bahas kita.”

Keisha menggelengkan kepalanya sedikit tidak habis pilir dengan jawaban Naufal. “Apanya yang mau dibahas? Kita udah selesai. Dari hari kita ketemu waktu itu, semuanya udah selesai.”

“Iya buat kamu.” Untuk sesaat Naufal mengalihkan pandangannya dari jalan di depan dan menatap Keisha. “Tapi buat aku engga. Apa yang bisa selesai dari sesuatu yang dimulai aja belum?”

“Fal, come on.” Hembusan nafas berat terdengar dari gadis itu. “Jangan bertingkah seolah semuanya salah aku, deh. Oke, kita emang gak pernah pacaran. Tapi itu juga karena kamu kan yang selalu minta aku nunggu? Aku nunggu kamu dari kita kelas 9. Aku tunggu kamu setahun lebih.

Dan gausah pura-pura, Fal. Aku yakin kok kamu juga sadar. Kita emang gak pacaran, tapi kita jelas lebih dari gak ada apa-apa.

Terakhir sebelum aku ngomong itu aku juga sempet tanya kamu lagi kan? Lagi-lagi kamu suruh aku tunggu. Tunggu apala—”

“Tunggu aku siap, Kei,” potong Naufal. “Tunggu aku merasa cukup baik buat kamu. Kamu tau hidupku kacau, Kei. Kamu tau itu. Aku butuh kamu.”

“Fal, emangnya aku pernah permasalahin soal diri kamu? Engga kan? Kamu dan segala kurangmu yang kamu bahas itu cuma ada di otak kamu. Lagian, siapa sih manusia yang sempurna? Gak ada.” Ia juga tak paham apa yang salah dengan dirinya, tapi matanya berkaca-kaca. “Dulu aku kira juga aku bisa selamanya tunggu kamu, tapi ternyata aku gak bisa. Aku capek, Fal. Udah, ya? Cukup.”

Mobil yang membawa mereka berdua sudah tiba di tujuannya. Sudah berhenti pula dengan sempurna di depan pagar tinggi berwarna hitam itu.

Entah gimana ceritanya, entah apa yang merasuki otak Keisha, tapi pada akhirnya Keisha setuju. Dan di sini lah mereka sekarang. Di dalam mobil. Berdua. Di perjalanan menuju rumah Keisha. Rute yang dulunya sering kali mereka lewati bersama.

“Aren’t this feels good?” tanya Naufal tiba-tiba.

Keisha yang sejak tadi melamun menoleh dan menatap Naufal yang pandangannya masih fokus ke depan. “Apanya?”

“The situation. Just like the good old days.”

Iya. Dulu momen seperti ini pernah menjadi favoritnya. Menghabiskan waktu dengan Naufal pernah jadi aktivitas kesukaan Keisha.

“Kei,” panggil Naufal yang gak dibals apapun oleh Keisha. “I’m sorry.”

“Buat?” Keisha tertawa ketus. “Udah lah, Fal. Gausah dibahas. Udah lewat juga.”

“Aku ajak kamu pulang bareng buat bahas ini, Kei,” balas Naufal.

“Bahas apa?”

“Ya bahas kita.”

Keisha menggelengkan kepalanya sedikit tidak habis pilir dengan jawaban Naufal. “Apanya yang mau dibahas? Kita udah selesai. Dari hari kita ketemu waktu itu, semuanya udah selesai.”

“Iya buat kamu.” Untuk sesaat Naufal mengalihkan pandangannya dari jalan di depan dan menatap Keisha. “Tapi buat aku engga. Apa yang bisa selesai dari sesuatu yang dimulai aja belum?”

“Fal, come on.” Hembusan nafas berat terdengar dari gadis itu. “Jangan bertingkah seolah semuanya salah aku, deh. Oke, kita emang gak pernah pacaran. Tapi itu juga karena kamu kan yang selalu minta aku nunggu? Aku nunggu kamu dari kita kelas 9. Aku tunggu kamu setahun lebih.

Dan gausah pura-pura, Fal. Aku yakin kok kamu juga sadar. Kita emang gak pacaran, tapi kita jelas lebih dari gak ada apa-apa.

Terakhir sebelum aku ngomong itu aku juga sempet tanya kamu lagi kan? Lagi-lagi kamu suruh aku tunggu. Tunggu apala—”

“Tunggu aku siap, Kei,” potong Naufal. “Tunggu aku merasa cukup baik buat kamu. Kamu tau hidupku kacau, Kei. Kamu tau itu. Aku butuh kamu.”

“Fal, emangnya aku pernah permasalahin soal diri kamu? Engga kan? Kamu dan segala kurangmu yang kamu bahas itu cuma ada di otak kamu. Lagian, siapa sih manusia yang sempurna? Gak ada.” Ia juga tak paham apa yang salah dengan dirinya, tapi matanya berkaca-kaca. “Dulu aku kira juga aku bisa selamanya tunggu kamu, tapi ternyata aku gak bisa. Aku capek, Fal. Udah, ya? Cukup.”

Mobil yang membawa mereka berdua sudah tiba di tujuannya. Sudah berhenti pula dengan sempurna di depan pagar tinggi berwarna hitam itu.

Classmeeting. Acara di minggu setelah ujian akhir semester yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi bagi sebagian lainnya sangat menyebalkan. Termasuk bagi Kalila.

Dulu Kalila sangat suka kegiatan yang satu ini, tapi setelah masuk SMA dan menjadi anggota seksi olahraga OSIS, classmeeting rasanya sudah seperti mimpi buruk. Mulai dari menyusun mekanisme lomba, rundown, rancangan dana, sampai harus bikin propasal, belum lagi eksekusi di hari H, rasanya banyak sekali tahap yang harus dilalui untuk acara yang orang lain pikir cuma haha hihi isinya.

Dibanding hari-hari sebelumnya, jelas hari ini adalah hari Kalila paling sibuk. Kalau ada kompetisi orang paling sibuk di dunia, dia pasti sudah jadi juaranya. Begitu pikir Kalila. Ya walaupun jelas tidak selebay itu, sih.

Meskipun begitu, hari ini Kalila memang betulan sibuk. Pagi tadi Kalila langsung mengecek dekorasi di auditorium. Memastikan semua sudah berada di tempatnya dan terpasang dengan sempurna. Siang sedikit, ia lanjut mengecek sound system bersama Leon, salah satu kakak kelasnya yang juga anggota seksi olahraga. Karena jujur saja, Kalila tidak terlalu mengerti soal yang seperti ini.

Tugas terakhir sekaligus yang terpenting bagi Kalila hari ini adalah memastikan semua berjalan seperti rencana awal. Makanya, sejak tadi Kalila—dan anak olahraga lainnya—mondar-mandir mengambil ini dan itu demi menunjang acara mereka di siang hari ini.

Orang sering bilang. Selalu ada secercah cahaya di tengah gelapnya malam.

Oke. Mungkin ini bukan situasi yang paling tepat untuk menggambarkan istilah itu, tapi setidaknya bagi Kalila begitu.

Kalila berdiri di samping panggung. Tepatnya di depan pintu backstage. Jujur saja Kalila sudah lelah. Semua orang di sana lelah. Ingin sekali rasanya agar acara ini cepat-cepat selesai. Namun sayangnya, masih ada setidaknya 3 penampilan lagi sebelum ini benar-benar berakhir.

Kalila sedang bersandar di dinding sambil menatap kosong ke arah panggung ketika suara yang tidak begitu asing terdengar. “Kalila. Janjian ya?” Kalila menoleh ke belakang. Sempat terkejut beberapa saat begitu sadar siapa yang tadi memanggilnya.

Itu Raka.

“Janjian apanya?” tanyanya heran.

“Itu. Baju.”

Setelah paham maksud pertanyaan tadi, rasa malu seketika menyambar diri Kalila. Sejak awal dia sudah tau ini ide yang buruk “Oh, iya kak. Idenya Kak Leon...”

Mendengar jawaban Kalila, Raka tertawa pelan. “Pantesan,” ujarnya sambil berjalan kembali ke dalam backstage.

Soal pembicaraan Kalila dan Raka tadi, jadi gini. Untuk acara closing, semua siswa diberi dresscode untuk memakai pakaian berwarna hitam. Tapi di tengah itu semua, ada sekelompok orang yang justru... memakai baju warna hijau neon.

Iya. Itu adalah anak-anak olahraga. Idenya datang dari Leon.

Awalnya Kalila menolak, tapi apa daya dia kalah suara. Pendukungnya cuma Nayra, yang sayangnya gak bisa hadir hari ini. Anggota olahraga lainnya, isinya adalah anak laki-laki hits di sekolah yang tingkat percaya dirinya di luar batas. Gak heran mereka justru senang dengan ide Leon yang membuat diri mereka makin mencolok di antara orang-orang. Jadi ya sudah lah, Kalila nurut saja. Dia gak bisa apa-apa.

Setelah seharian berusaha tidak peduli, kejadian barusan berhasil membuat rasa malunya datang kembali. Padahal sudah orang kesekian yang bertanya soal baju neon itu, tapi kenapa baru sekarang, ya Kalila merasa malu.

Kalila malu karena warna bajunya, atau karena bicara dengan Raka, ya?

Entahlah.

Yang jelas, Kalila rasa kejadian tadi adalah hal yang melakukan sekaligus berkah untuknya hari ini. Karena tadi, adalah pertama kalinya ia dan Raka benar-benar berbicara. Kalila gak pernah membayangkan, kalau akan ada hari mereka berdua berbicara, terlebih lagi Raka yang memanggilnya duluan.

Setelahnya, Raka memang gak pernah memanggil Kalila lagi, tapi semenjak saat itu Kalila tidak lagi takut untuk bicara dengan Raka.

Setelah perjalanan panjang—yang sengaja dibuat panjang —sekaligus super rusuh siang ini, Keisha dan teman-teman OSIS-nya tiba juga di tempat mereka akan camping.

Tempatnya cukup bagus sebetulnya. Hamparan rumput dengan tenda yang tersusun rapi, dikelilingi dengan pepohonan, juga danau menjadi pemandangan segar setelah setiap hari terus-menerus melihat hirup-pikuk kota Jakarta.

Karena sampai di tempat camping pukul 5 sore, Keisha dan yang lainnya belum ikut acara apapun mengingat pada jam itu adalah jadwal istirahat dan bersih-bersih sebelum makan malam. Iya, mereka memang sudah memperhitungkan itu agar tidak usah ikut panas-panasan.

Akhirnya, di hari pertama camping ini Keisha cuma ikut acara api unggun, juga jurit malam yang kini membuatnya sekarang terjebak bersama Javian di tengah antah-berantah.

Iya. Dengan Javian.

Jadi ceritanya, di agenda jurit malam ini seluruh siswa dibagi jadi 4 kelompok. Setiap kelompok melewati jalur yang berbeda. Di tiap kelompok, akan dibagi lagi tim secara acak berisi 2 orang. 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.

Awalnya mereka disuruh membuat barisan, perempuan di kiri dan laki-laki di kanan. Siapa yang berdiri di samping mereka, itu lah yang akan jadi pasangan 1 timnya. Sederhananya, Keisha dan Javian berdiri berdampingan.

Dunia selalu ada di pihaknya. Itu lah hal yang pertama muncul di pikiran Javian.

Tapi ternyata, hidup emang gak semulus yang mereka kira. Peta yang mereka pegang sekaligus satu-satunya petunjuk untuk menyelesaikan jatuh. Ke lumpur.

Sialnya lagi, di kelompok mereka, mereka jalan paling akhir. Jadi tidak akan ada orang lain lagi yang akan lewat sini. Tidak bisa juga mengikuti yang di depan karena setiap tim diberi jarak waktu sebelum berjalan. Mereka tidak punya kesempatan untuk melihat yang di depan.

Makanya, sekarang Keisha dan Javian cuma bisa duduk meratapi nasib. Sambil tengok kanan-kiri berharap ada yang datang setelah membaca pesan yang mereka kirim. Tapi sampai sekarang belum ada siapa pun yang datang.

“Kei,” panggil Javian yang membuat Keisha menoleh ke arahnya. “Udah makan?” lanjutnya.

Aduh… Emang ya si Javian ini. Gak di chat gak di dunia nyata, masih aja yang dibahas soal makan. Jelas-jelas tadi ada jam makan malam. Tapi gak masalah deh, soalnya pertanyaan basa-basinya berhasil memecah sunyi di antara mereka.

Iya, sejak tadi mereka emang gak saling bicara apapun. Keisha tetap lah keisha, dia gak sesuka itu untuk bicara. Tapi kalau Javian, entah ya. Mungkin suasananya membuat dia gak selera untuk bicara. Ini rahasia dan gak banyak yang tau, tapi sebetulnya Javian takut gelap.

“Gak pengen nyalain lagu, Jav? Sepi banget,” ujar Keisha.

“Pake HP lo aja. Spotify gue ga premium hehehe,” jawabnya sedikit malu.

Keisha terkekeh. “Anak artis masa spotify-nya ga premium sih,” ledeknya.

“Iya deh Kei sorry dehhhhh emang lo paling keren punya spotify premium.”

“HAHAHHAHAHA yaudah deh pake punya gue aja. Nih,” katanya sambil mengeluarkan handphone dari kantongnya. “Lo aja yang pilih lagu. Dari playlist gue juga boleh.”

Seketika Javian tersenyum lebar. Perasaan senang saat rasanya kamu diberi kepercayaan oleh orang yang kamu suka itu bukan main. Itu lah yang dirasakan Javian sekarang.

Hal pertama yang Javian liat adalah playlist milik Keisha. Dia mau tau lagu seperti apa yang biasanya Keisha dengar.

Javian masih terus tersenyum, sampai….

Javian menemukan collaborative playlist Keisha dengan seseorang. Namanya Naufal. Dan judul playlist-nya…..

“Kei, lo punya pacar?” tembak Javian begitu saja.

Keisha terlihat berpikir sebentar, sebelum akhirnya dia sadar apa yang dimaksud Javian. Buru-buru dia merebut HP nya dari tangan Javian.

“Engga. Gak punya,” jawabnya.

“Terus ini apaannnn?” tanya Javian dengan nada meledek. Berusaha menghibur diri sebetulnya.

“Yaaaa bukan pacar pokoknya.”

“Terus apa dong? HTS? Mantan? PDKT-an?”

“Iya mantan.” Javian mengangguk.

“Putusnya kapan? Eh, sorry sorry, kayaknya terlalu privacy kalo gak mau jawab gapapa.”

“Eh, gapapa Jav. Santai aja.” Perempuan itu tersenyum sebentar sebelum lanjut menjawab.

“Kapan ya putusnya? 3 bulan yang lalu mungkin? Gue sama dia dari jaman SMP. Sebenernya udah niat mau hapus, tapi lupa kayaknya gue waktu itu.”

Lagi-lagi Javian cuma mengangguk. Sekarang dia paham kenapa gak pernah ada yang berhasil deketin Keisha. Ya jelas aja orang selama ini dia punya pacar.

Yah, mungkin sekarang Javian perlu tarik ucapannya soal dunia selalu berpihak sama dia.

Eh, atau mungkin… ini justru kesempatan ya?

Setelah perjalanan panjang—yang sengaja dibuat panjang —sekaligus super rusuh siang ini, Keisha dan teman-teman OSIS-nya tiba juga di tempat mereka akan camping.

Tempatnya cukup bagus sebetulnya. Hamparan rumput dengan tenda yang tersusun rapi, dikelilingi dengan pepohonan, juga danau menjadi pemandangan segar setelah setiap hari terus-menerus melihat hirup-pikuk kota Jakarta.

Karena sampai di tempat camping pukul 5 sore, Keisha dan yang lainnya belum ikut acara apapun mengingat pada jam itu adalah jadwal istirahat dan bersih-bersih sebelum makan malam. Iya, mereka memang sudah memperhitungkan itu agar tidak usah ikut panas-panasan.

Akhirnya, di hari pertama camping ini Keisha cuma ikut acara api unggun, juga jurit malam yang kini membuatnya sekarang terjebak bersama Javian di tengah antah-berantah.

Iya. Dengan Javian.

Jadi ceritanya, di agenda jurit malam ini seluruh siswa dibagi jadi 4 kelompok. Setiap kelompok melewati jalur yang berbeda. Di tiap kelompok, akan dibagi lagi tim secara acak berisi 2 orang. 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.

Awalnya mereka disuruh membuat barisan, perempuan di kiri dan laki-laki di kanan. Siapa yang berdiri di samping mereka, itu lah yang akan jadi pasangan 1 timnya. Sederhananya, Keisha dan Javian berdiri berdampingan.

Dunia selalu ada di pihaknya. Itu lah hal yang pertama muncul di pikiran Javian.

Tapi ternyata, hidup emang gak semulus yang mereka kira. Peta yang mereka pegang sekaligus satu-satunya petunjuk untuk menyelesaikan jatuh. Ke lumpur. Sialnya lagi, di kelompok mereka, mereka jalan paling akhir. Jadi tidak akan ada orang lain lagi yang akan lewat sini. Tidak bisa juga mengikuti yang di depan karena setiap tim diberi jarak waktu sebelum berjalan. Mereka tidak punya kesempatan untuk melihat yang di depan.

Makanya, sekarang Keisha dan Javian cuma bisa duduk meratapi nasib. Sambil tengok kanan-kiri berharap ada yang datang setelah membaca pesan yang mereka kirim. Tapi sampai sekarang belum ada siapa pun yang datang.

“Jav, nyalain lagu. Serem sunyi banget,” ujar Keisha tiba-tiba.

Iya, sejak tadi mereka emang gak saling bicara apapun. Keisha tetap lah keisha, dia gak sesuka itu untuk bicara. Tapi kalau Javian, entah ya. Mungkin suasananya membuat dia gak selera untuk bicara. Ini rahasia dan gak banyak yang tau, tapi sebetulnya Javian takut gelap.

“Pake HP lo aja deh, Kei. Spotify gue ga premium hehehe,” jawabnya sedikit malu.

Keisha terkekeh. “Anak artis masa spotify-nya ga premium sih,” ledeknya.

“Iya deh Kei sorry dehhhhh emang lo paling keren punya spotify premium.”

“HAHAHHAHAHA yaudah deh pake punya gue aja. Nih,” katanya sambil mengeluarkan handphone dari kantongnya. “Lo aja yang pilih lagu. Dari playlist gue juga boleh.”

Setelah perjalanan panjang—yang sengaja dibuat panjang —sekaligus super rusuh siang ini, Keisha dan teman-teman OSIS-nya tiba juga di tempat mereka akan camping.

Tempatnya cukup bagus sebetulnya. Hamparan rumput dengan tenda yang tersusun rapi, dikelilingi dengan pepohonan, juga danau menjadi pemandangan segar setelah setiap hari terus-menerus melihat hirup-pikuk kota Jakarta.

Karena sampai di tempat camping pukul 5 sore, Keisha dan yang lainnya belum ikut acara apapun mengingat pada jam itu adalah jadwal istirahat dan bersih-bersih sebelum makan malam. Iya, mereka memang sudah memperhitungkan itu agar tidak usah ikut panas-panasan.

Akhirnya, di hari pertama camping ini Keisha cuma ikut acara api unggun, juga jurit malam yang kini membuatnya sekarang terjebak bersama Javian di tengah antah-berantah.

Iya. Dengan Javian.

Jadi ceritanya, di agenda jurit malam ini seluruh siswa dibagi jadi 4 kelompok. Setiap kelompok melewati jalur yang berbeda. Di tiap kelompok, akan dibagi lagi tim secara acak berisi 2 orang. 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.

Awalnya mereka disuruh membuat barisan, perempuan di kiri dan laki-laki di kanan. Siapa yang berdiri di samping mereka, itu lah yang akan jadi pasangan 1 timnya. Sederhananya, Keisha dan Javian berdiri berdampingan.

Dunia selalu ada di pihaknya. Itu lah hal yang pertama muncul di pikiran Javian.

Tapi ternyata, hidup emang gak semulus yang mereka kira. Peta yang mereka pegang sekaligus satu-satunya petunjuk untuk menyelesaikan jatuh. Ke lumpur. Sialnya lagi, di kelompok mereka, mereka jalan paling akhir. Jadi tidak akan ada orang lain lagi yang akan lewat sini. Tidak bisa juga mengikuti yang di depan karena setiap tim diberi jarak waktu sebelum berjalan. Mereka tidak punya kesempatan untuk melihat yang di depan.

Oke. Jadi gini ceritanya.

Pas Keisha dan Keenan berdiri di depan pintu utama sekolah karena mau pesen grab, mereka gak sengaja ketemu Javian yang juga lagi disitu. Katanya lagi nunggu supirnya yang telat jemput.

Singkat cerita, akhirnya Javian nawarin mereka untuk bareng aja ke kafe pakai mobilnya Javian. Tadinya Keisha pikir Javian akan langsung pulang setelah, tapi ternyata Javian malah nunggu mereka, bilang biar sekalian aja diantar sampai rumah.

Nah, sekarang Keisha masih di mobil Javian. Duduk bersebelahan di baris kedua. Yah, walaupun berjarak karena ada arm rest, sih. Mereka sudah mengantar Keenan lebih dulu, karena ternyata rumahnya tidak terlalu jauh dari kafe tadi.

Tentang Keisha, waktu Javian bilang ke teman-temannya kalau Keisha jauh lebih asik di real life, Javian betul-betul serius! Keisha memang bukan tipe yang banyak bicara, tapi responnya bisa dikatakan menyenangkan. Berbanding terbalik dengan dirinya di dunia maya.

Setelah menimbang-nimbang akhirnya ini keluar juga dari mulut Javian. “Keisha, gua mau nanya deh. Tapi lo janji jangan marah ya.”

Keisha mengerutkan alisnya bingung. “Marah kenapa?”

“Lo aslinya sama di chat beda banget deh, Kei. Apaya... kalo di chat tuh lu dingin banget gua suka ngeri sendiri. Padahal aslinya ya... biasa aja,” kata Javian yang membuat mata Keisha membelalak. “MASA SIH?!”

“IYA! Gua sampe mikir, lu nih sebel sama gua apa gimana? Apa gua ada salah ya?”

“Ih enggak lah emangnya gue mau sebel gara-gara apaan juga!” seru Keisha yang diakhiri dengan tawa dari keduanya. “Sorry deh ya kalo ternyata bikin lu jadi merasa gitu. Gue gak ada maksud apa-apa kok.”

Yang membuat Javian terkejut, tiba-tiba saja Keisha mengulurkan tangannya. Tentu saja disambut dengan hangat oleh Javian. “Let's be a good friends from now on,” ucapnya sembari keduanya berjabat tangan.

Yaelah, belum apa-apa udah friends aja, batin Javian.

Gue di depan.

Setelah baca pesan singkat itu Javian langsung buru-buru keluar kelas. Dan bener aja, ternyata Keisha sudah menunggu di sana.

“Eh, hai Kei,” sapa Javian sedikit canggung.

Keisha tersenyum tipis. “Hai Jav,” balasnya dengan tangan yang melambai kecil.

Baru begini saja rasanya jantung Javian sudah berdegup lebih cepat dari biasanya, entahlah bagaimana kondisi Javian nanti setelah agenda school tour mereka ini selesai.

“Gua boleh ke kelas dulu bentar gak?” Ibu jarinya menunjuk ke dalam kelas. “Barang-barang gua masih belum beres,” ucapnya yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Keisha.

Sudah seminggu belajar di kelas, Javian masih belum mengerti bagaimana bisa teman-teman sekelasnya langsung lari ke luar kelas begitu bel berbunyi. Sedangkan dirinya selalu saja keluar belakangan karena harus merapikan barang.

Setelah beberapa lama Javian akhirnya kembali ke luar dengan ransel yang disampirkan di salah satu pundaknya. “Gua gak ngerti deh asli, kok orang-orang bisa ya langsung kabur gitu aja pas bel?” Keisha menaikkan sebelah alisnya, seakan bertanya, 'Emang kenapa?'

“Ya gue bingung aja, perasaan gue tiap hari ada acara beres-beresnya dulu dah, itu mereka bisa secepat kilat apa gimana sih,” terang Javian yang berhasil mengundang tawa Keisha. “Jav, besok lo coba perhatiin deh.” Keisha mengangkat tangan kanannya dan menunjuk anak-anak sekolah yang kini sudah main sepak bola di lapangan. “Mereka tuh beresin barangnya udah dari sebelum bel, makanya pas bel udah tinggal cabut.”

“Lah iya juga ya, bisa gitu. Kok bego sih gua...” ucap Javian yang lagi-lagi membuat Keisha tergelak.

Bukannya mulai jalan, Javian malah jadi asik menonton orang-orang di lapangan, sampai Keisha harus memanggil untuk memecah lamunannya. “Javian, Jadi kita mau ke mana dulu?”

Oh iya. Tujuan awal mereka mau school tour. Javian nyaris lupa itu.

“Bebas deh Kei, gua ngikut aja.”

Keisha mengangguk lalu mulai memimpin langkah mereka.

Sebetulnya, daripada school tour saat ini Javian dan Keisha jauh lebih seperti sepasang teman dekat yang lagi berbincang sambil berkeliling sekolah. Meskipun baru pertama kali mengobrol hari ini, tampaknya mereka berdua bisa dibilang cocok.

Lagipula Javian juga sebenarnya sudah hafal sudut-sudut sekolah ini, toh ini sudah minggu keduanya. Dari awal kan, niatnya memang cuma mau modus aja...