016.
Classmeeting. Acara di minggu setelah ujian akhir semester yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi bagi sebagian lainnya sangat menyebalkan. Termasuk bagi Kalila.
Dulu Kalila sangat suka kegiatan yang satu ini, tapi setelah masuk SMA dan menjadi anggota seksi olahraga OSIS, classmeeting rasanya sudah seperti mimpi buruk. Mulai dari menyusun mekanisme lomba, rundown, rancangan dana, sampai harus bikin propasal, belum lagi eksekusi di hari H, rasanya banyak sekali tahap yang harus dilalui untuk acara yang orang lain pikir cuma haha hihi isinya.
Dibanding hari-hari sebelumnya, jelas hari ini adalah hari Kalila paling sibuk. Kalau ada kompetisi orang paling sibuk di dunia, dia pasti sudah jadi juaranya. Begitu pikir Kalila. Ya walaupun jelas tidak selebay itu, sih.
Meskipun begitu, hari ini Kalila memang betulan sibuk. Pagi tadi Kalila langsung mengecek dekorasi di auditorium. Memastikan semua sudah berada di tempatnya dan terpasang dengan sempurna. Siang sedikit, ia lanjut mengecek sound system bersama Leon, salah satu kakak kelasnya yang juga anggota seksi olahraga. Karena jujur saja, Kalila tidak terlalu mengerti soal yang seperti ini.
Tugas terakhir sekaligus yang terpenting bagi Kalila hari ini adalah memastikan semua berjalan seperti rencana awal. Makanya, sejak tadi Kalila—dan anak olahraga lainnya—mondar-mandir mengambil ini dan itu demi menunjang acara mereka di siang hari ini.
Orang sering bilang. Selalu ada secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
Oke. Mungkin ini bukan situasi yang paling tepat untuk menggambarkan istilah itu, tapi setidaknya bagi Kalila begitu.
Kalila berdiri di samping panggung. Tepatnya di depan pintu backstage. Jujur saja Kalila sudah lelah. Semua orang di sana lelah. Ingin sekali rasanya agar acara ini cepat-cepat selesai. Namun sayangnya, masih ada setidaknya 3 penampilan lagi sebelum ini benar-benar berakhir.
Kalila sedang bersandar di dinding sambil menatap kosong ke arah panggung ketika suara yang tidak begitu asing terdengar. “Kalila. Janjian ya?” Kalila menoleh ke belakang. Sempat terkejut beberapa saat begitu sadar siapa yang tadi memanggilnya.
Itu Raka.
“Janjian apanya?” tanyanya heran.
“Itu. Baju.”
Setelah paham maksud pertanyaan tadi, rasa malu seketika menyambar diri Kalila. Sejak awal dia sudah tau ini ide yang buruk “Oh, iya kak. Idenya Kak Leon...”
Mendengar jawaban Kalila, Raka tertawa pelan. “Pantesan,” ujarnya sambil berjalan kembali ke dalam backstage.
Soal pembicaraan Kalila dan Raka tadi, jadi gini. Untuk acara closing, semua siswa diberi dresscode untuk memakai pakaian berwarna hitam. Tapi di tengah itu semua, ada sekelompok orang yang justru... memakai baju warna hijau neon.
Iya. Itu adalah anak-anak olahraga. Idenya datang dari Leon.
Awalnya Kalila menolak, tapi apa daya dia kalah suara. Pendukungnya cuma Nayra, yang sayangnya gak bisa hadir hari ini. Anggota olahraga lainnya, isinya adalah anak laki-laki hits di sekolah yang tingkat percaya dirinya di luar batas. Gak heran mereka justru senang dengan ide Leon yang membuat diri mereka makin mencolok di antara orang-orang. Jadi ya sudah lah, Kalila nurut saja. Dia gak bisa apa-apa.
Setelah seharian berusaha tidak peduli, kejadian barusan berhasil membuat rasa malunya datang kembali. Padahal sudah orang kesekian yang bertanya soal baju neon itu, tapi kenapa baru sekarang, ya Kalila merasa malu.
Kalila malu karena warna bajunya, atau karena bicara dengan Raka, ya?
Entahlah.
Yang jelas, Kalila rasa kejadian tadi adalah hal yang melakukan sekaligus berkah untuknya hari ini. Karena tadi, adalah pertama kalinya ia dan Raka benar-benar berbicara. Kalila gak pernah membayangkan, kalau akan ada hari mereka berdua berbicara, terlebih lagi Raka yang memanggilnya duluan.
Setelahnya, Raka memang gak pernah memanggil Kalila lagi, tapi semenjak saat itu Kalila tidak lagi takut untuk bicara dengan Raka.