073.

Entah gimana ceritanya, entah apa yang merasuki otak Keisha, tapi pada akhirnya Keisha setuju. Dan di sini lah mereka sekarang. Di dalam mobil. Berdua. Di perjalanan menuju rumah Keisha. Rute yang dulunya sering kali mereka lewati bersama.

“Aren’t this feels good?” tanya Naufal tiba-tiba.

Keisha yang sejak tadi melamun menoleh dan menatap Naufal yang pandangannya masih fokus ke depan. “Apanya?”

“The situation. Just like the good old days.”

Iya. Dulu momen seperti ini pernah menjadi favoritnya. Menghabiskan waktu dengan Naufal pernah jadi aktivitas kesukaan Keisha.

“Kei,” panggil Naufal yang gak dibals apapun oleh Keisha. “I’m sorry.”

“Buat?” Keisha tertawa ketus. “Udah lah, Fal. Gausah dibahas. Udah lewat juga.”

“Aku ajak kamu pulang bareng buat bahas ini, Kei,” balas Naufal.

“Bahas apa?”

“Ya bahas kita.”

Keisha menggelengkan kepalanya sedikit tidak habis pilir dengan jawaban Naufal. “Apanya yang mau dibahas? Kita udah selesai. Dari hari kita ketemu waktu itu, semuanya udah selesai.”

“Iya buat kamu.” Untuk sesaat Naufal mengalihkan pandangannya dari jalan di depan dan menatap Keisha. “Tapi buat aku engga. Apa yang bisa selesai dari sesuatu yang dimulai aja belum?”

“Fal, come on.” Hembusan nafas berat terdengar dari gadis itu. “Jangan bertingkah seolah semuanya salah aku, deh. Oke, kita emang gak pernah pacaran. Tapi itu juga karena kamu kan yang selalu minta aku nunggu? Aku nunggu kamu dari kita kelas 9. Aku tunggu kamu setahun lebih.

Dan gausah pura-pura, Fal. Aku yakin kok kamu juga sadar. Kita emang gak pacaran, tapi kita jelas lebih dari gak ada apa-apa.

Terakhir sebelum aku ngomong itu aku juga sempet tanya kamu lagi kan? Lagi-lagi kamu suruh aku tunggu. Tunggu apala—”

“Tunggu aku siap, Kei,” potong Naufal. “Tunggu aku merasa cukup baik buat kamu. Kamu tau hidupku kacau, Kei. Kamu tau itu. Aku butuh kamu.”

“Fal, emangnya aku pernah permasalahin soal diri kamu? Engga kan? Kamu dan segala kurangmu yang kamu bahas itu cuma ada di otak kamu. Lagian, siapa sih manusia yang sempurna? Gak ada.” Ia juga tak paham apa yang salah dengan dirinya, tapi matanya berkaca-kaca. “Dulu aku kira juga aku bisa selamanya tunggu kamu, tapi ternyata aku gak bisa. Aku capek, Fal. Udah, ya? Cukup.”

Mobil yang membawa mereka berdua sudah tiba di tujuannya. Sudah berhenti pula dengan sempurna di depan pagar tinggi berwarna hitam itu.