026.
10 Agustus 2015
Pengumuman kepada seluruh siswa kelas 10-12 harap segera berkumpul di lapangan sebelum pukul 7.
Pengumuman yang disampaikan wakil kepala sekolah terdengar ke seluruh penjuru bangunan melalui pengeras suara. Hampir seluruh warga sekolah terkejut dibuatnya karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya.
Upacara dadakan seperti ini biasanya memang sengaja diadakan sebagai upaya pengecekan atribut karena sekolah Sherina memang tidak tiap minggu melaksanakan upacara. Itu pula penyebab murid di sana sering kali tidak memakai atribut lengkap.
Tidak terkecuali Sherina.
“Mampus gue gak bawa topi.” Sherina memukul meja ketika mendengar pengumuman itu.
Kinara yang duduk di sebelahnya juga ikut panik. Ia langsung mengecek tas miliknya. Untung saja ada topi di dalam sana, tetapi sayangnya hanya ada satu.
“Yah, gue juga cuma bawa satu. Lu bukannya suka nyimpen satu di loker ya, Sher?”
“Itu dia. Pas sebelum libur sempet gue pake karena begini juga. Bodohnya kenapa malah gue bawa pulang anjir bukannya balikin loker.” Sherina menjatuhkan kepalanya di meja—putus asa.
“Ah, tapi gue gamau disuruh maju ke depan cuma gara-gara ginian elah. Ogahhh!!” rutuknya lagi.
“Eh bentar dulu. Gue tanya Jidan. Siapa tau dia atau temennya ada yang bawa dua.”
“Ide lu bagus kalo bukan nanya ke Jidan. Mana mungkin orang kayak dia bawa,” sahut Sherina.
Sambungan telepon terhubung.
“Halo, Kin, kenapa?” Suara Zidane disertai latar bising terdengar dari seberang sana.
Sepertinya Zidane sudah bergabung dengan lautan siswa di lantai bawah. Sekarang memang sudah pukul 06.50, di kelas Sherina pun hanya tinggal dirinya dan Kinara yang belum turun.
“Lu atau temen lu ada yang bawa topi dua gak?” tanya Kinara tanpa basa-basi.
“Yah, Kin, gua satu aja gak bawa, apalagi dua. Ini aja gua sama temen gua lagi siap-siap manjat pager mau ke warung sebelah,” jawab Zidane santai sambil cengengesan.
“Tuh kan apa kata gue. Lu berharap apa dari dia,” sahut Sherina sinis.
“Eh tapi ini gua tanyain temen gua dulu deh, ya. Siapa tau ada yang bawa. Lu berdua turun dulu aja daripada diamuk Budi. Kalo ada nanti gua chat Kinara.” Budi itu nama kepala sekolah mereka...
Kini mereka sudah masuk ke barisan. Sherina dan Kinara sengaja memilih berdiri di belakang lantas belum ada kejelasan dari Zidane mengenai topi.
Upacara hampir dimulai. Pak Budi selaku kepala sekolah sudah terlihat memasuki lapangan.
Di tengah heningnya lapangan pagi itu, Kinara, masih dengan ponsel di salah satu tangannya menepuk-nepuk pundak Sherina pelan dari belakang. “Kata Jidan temennya ternyata ada yang bawa. Tapi karena mereka mau bolos, jadi dipinjemin ke lu aja. Lagi jalan kesini anaknya.”
Sherina hanya mengangguk menanggapi itu. Sebenarnya dalam hati ia sangat senang, tapi kan tidak lucu kalau dia dipanggil ke depan hanya karena dituduh mengobrol. Ditambah lagi dia tidak memakai topi. Lengkap sudah penderitaan dia pagi ini kalau sampai terjadi.
Pukul 06.58, seorang laki-laki—yang Sherina yakini adalah teman Zidane—diam-diam masuk ke barisan kelasnya.
“Nih,” kata laki-laki itu saat dirinya berada tepat di sebelah Sherina. Dia menyodorkan topi miliknya dengan tatapan lurus ke depan, tanpa menatap Sherina sedikit pun.
“Gue duluan ya. Mau cabut,” ucapnya lagi sesaat setelah Sherina menerima topi itu.
Belum sempat Sherina ber-terima kasih, laki-laki itu sudah terlanjur membalikkan badannya dan meninggalkan barisan. Sherina bahkan belum melihat dengan jelas wajah laki-laki itu.