sunnysiidez

Ghea sedang lelap-lelapnya tertidur ketika ia mendengar suara gaduh dari luar aula.

Suara bohlam yang diketuk bersahut-sahutan menghasilkan suara yang luar biasa nyaring. Terdengar pula suara Danendra berteriak, “BANGUNNNN” diiringi oleh suara gendang yang datang entah dari mana.

Ghea sayup-sayup membuka matanya perlahan. Dilihat olehnya teman-teman di sekitarnya juga sedang berusaha keras melawan kantuk.

Ghea mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di samping bantal kecil yang sedari tadi ia gunakan untuk tidur.

Pukul 2 pagi.

Anjir, ini mah beneran jurit malam, batinnya dalam hati.

“Ayo dek bangun, itu kakaknya udah pada nungguin di depan!” teriak Kaina lumayan keras dari arah pintu aula. Ghea dan teman-teman seangkatannya langsung terkejut dan buru-buru berlari ke luar.

“Ayo cepet semuanya baris. 1 baris laki-laki dan 1 baris perempuan!” perintah Dirga dengan suara lantang meski tanpa pengeras suara. Mereka semua segera membentuk barisan. Posisi Ghea dan Nina saat ini, Ghea berada persis di depan Nina.

“Sekarang semuanya ikut saya,” kali ini giliran Heksa yang berbicara. “Kalian mulai jalan dari sini. Ikutin arah jalan aja. Jalannya berempat, 2 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Sesuai barisan. Paham gak dek?”

“Siap, paham kak!” seru siswa dan siswi kelas 11.

Ghea dan Nina panik-panik cemas kalau saja mereka tidak akan berjalan bersama. Ghea dan Nina bolak-balik menghitung jumlah orang yang ada di depan mereka, berharap hitungan itu salah. Karena jika benar, maka mereka tak akan ada di kelompok yang sama.

Kelompok terakhir sebelum kelompok Ghea sudah mulai berjalan. Benar saja, Ghea dan Nina terpaksa harus berpisah. Ada 1 orang di depan Ghea, Nadia. Sedangkan 2 laki-laki yang juga akan berjalan bersama dengannya, ia tidak menyadari siapa mereka. Pandangannya terhalang oleh gelapnya malam itu.

Kini giliran kelompok Ghea memulai perjalanan. Mereka perlahan berjalan menjauhi tempat awal tadi. Ghea membalikkan badannya sebentar ke belakang. Tempat awal tadi benar-benar sudah tidak terlihat, digantikan dengan gelap gulita tanpa seberkas pun cahaya.

“Ngapain liat belakang? cepet jalan,” kata laki-laki yang ada di sebelah Ghea.

Setiap kelompok hanya diberi 2 senter, dan dalam kondisi saat ini, Nadia berbagi dengan laki-laki yang Ghea yakini adalah Malvin. Untuk dirinya sendiri, ia tentunya berbagi senter dengan entah siapa laki-laki yang tidak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya ini.

Namun nampaknya hari itu nasib Ghea memang sedang tidak terlalu baik. Tanpa sadar, karena dirinya yang berhenti sejenak, Ghea kehilangan Nadia dan Malvin yang tadi ada di depannya. Mereka berdua tertinggal.

“Gimana dong ini?” tanya Ghea sedikit panik.

“Ya mau gimana lagi. Gua kan nungguin lu. Udah cepet ayo jalan,” jawab laki-laki itu.

“M-maaf.”

Sejak berjalan 5 menit yang lalu, Ghea belum menemukan tanda-tanda menyeramkan khas jurit malam.

Tapi kayaknya Ghea emang lagi apes. Tanpa disadarinya, ia menyandung tali jebakan yang ada di tanah.

Sesuatu berbentuk bulat dibalut kain berwarna putih terjatuh dari pohon yang ada di sebelah kiri. Ghea kaget bukan main sampai-sampai nyaris terpeleset. Untung, laki-laki di sebelahnya itu sempat menahan tangan Ghea sehingga tidak jatuh.

Sebenarnya Ghea tidak takut akan hal-hal yang berkaitan dengan hantu. Ia juga sadar betul kalau tadi itu hanyalah guling. Tapi kalau posisinya kayak tadi, siapa sih yang gak kaget.

Setelah degup jantungnya kembali normal, mereka berdua melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu Ghea habiskan ditemani dengan suara-suara menyeramkan yang diputar panitia, juga beberapa poster film horor yang ditempel di pohon-pohon. Tidak ada yang membuat Ghea takut sejauh ini.

Menilik dari waktu perjalanan yang telah dihabiskan, sepertinya perjalanan ini akan segera berakhir.

Hening tercipta sejak tadi di antara dua manusia itu, sampai, “Jalannya licin.”

“Iya. Makanya pelan-pelan aja,” jawab Ghea.

Laki-laki itu mengambil satu langkah ke depan dan mengulurkan tangganya, “Pegang.”

“Hah?” Ghea bingung.

“Pegang aja, nanti lu jatoh. Tadi ga licin aja hampir kepeleset. Gimana ini.”

Ragu-ragu Ghea menerima uluran tangan itu. Apa yang dikatakan ada benarnya. Bagaimana kalau kejadi seperti tadi terulang kembali? Dengan jalanan selicin ini, dapat dipastikan Ghea akan terjatuh.

Ghea berjalan dengan hati-hati masih sambil terus menggenggam tangan itu.

Sampai pada akhirnya, terlihat cahaya terang di ujung sana, tanda jurit malam telah berakhir. Dan ternyata pula, sepanjang sisa perjalanan yang tidak terlalu panjang tadi, tidak ada sesuatu yang membuat Ghea kaget. Meski begitu, tangan itu tetap membantu Ghea ketika beberapa kali jalan terasa lebih licin dibanding yang lain.

Ghea sedikit terkejut ketika tiba di sana dan melihat Nina sudah sampai lebih dulu. Juga beberapa orang yang tadi berjalan setelah dirinya.

“Kok lu bisa selesai duluan?” tanya Ghea heran.

Nina tertawa pelan, “Tadi tuh ada percabangan kanan kiri gitu kan ya.” Ghea mengangguk menanggapi. “Nah, ternyata yang kiri tuh lebih pendek jalannya. Lu pasti pilih kanan, ya. Hahahaha.”

Di tengah percakapan itu, “Ghe, lu pacaran sama Adelio?” tanya Keyla yang baru saja menyelesaikan perjalanannya.

Ghea mengerutkan alisnya, “Hah? Ya engga, lah. Gue aja ga pernah ngobrol sama dia.”

“Lah itu?” mata Keyla melirik sekilas ke arah tangan kanan milik Ghea.

Ghea mengikuti ke mana pandangan Keyla mengarah.

Ghea terlalu sibuk berbicara dengan Nina, sampai-sampai ia tidak sadar, tangan yang sedari tadi digenggamnya belum terlepas. Ia juga kaget setelah mengetahui fakta bahwa tangan itu adalah milik Adelio.

Ghea yang kaget buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Adelio, orang yang ternyata berjalan beriringan dengan Ghea, ia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi.

“Kok lu gak bilang apa-apa sih?” tanya Ghea panik.

“Soalnya lu keasikan ngobrol. Gue bingung ngomongnya gimana,” jawab Adelio santai.

“Hahhh ha ha ha ha,” tawa Ghea canggung.

“Gue duluan ya. Ayo Key, Nin,” dengan wajah yang merah padam karena malu Ghea menarik tangan kedua temannya dan kemudian berlari meninggalkan Adelio di belakang sana.

Adelio di sana, dia diam berdiri dan tertawa puas melihat tingkah panik Ghea.